Djoko Adi Prasetyo Dosen Antropologi Unair mengatakan, punya anak perempuan dalam budaya Jawa ibarat ancik-ancik ning pucuke ri (seolah-olah sedang berada di ujung duri).
Artinya, orang tuanya yang harus sangat berhati-hati dalam menjaga putrinya. Alasannya, dia jelaskan, karena anak perempuan ini yang di masa mendatang akan menentukan maju/mundurnya keluarga.
“Itu kultur Jawa. Karena begini, wanita ini banyak disebutkan dalam slogan maju munduring keluwarga saka wanita. Bahkan lebih luas lagi, maju mundurnya bangsa itu juga karena wanita,” ujarnya.
Djoko menyampaikan itu saat mengudara di Radio Suara Surabaya menanggapi Topik Hari Anak Perempuan Internasional yang diperingati hari ini, Senin 11 Oktober 2021.
Kehati-hatian dalam mengasuh dan melindungi anak perempuan dalam Budaya Masyarakat Jawa ini, kata Djoko, karena wanita itulah yang akan memegang Tata Krama atau Unggah-Ungguh.
“Kenapa begitu? Karena mereka ini yang nantinya berperan sebagai ibu. Makanya juga disebut perempuan, yang mengampu (mengajari),” katanya.
Sebagai orang tua Jawa yang punya seorang anak perempuan, kehati-hatian itu, seperti diisyaratkan Djoko, lebih untuk memastikan anak mereka berhasil menjadi ibu kelak, di kemudian hari.
Menurutnya, terhadap anak perempuan justru harus diberi kesempatan mencari ilmu setinggi mungkin. Orang tualah yang harus memastikan anak mereka tetap menjaga unggah-ungguh dan tahu waktu.
“Ini berhubungan dengan kultur atau budaya. Sedangkan budaya ini kan dinamis. Selama masyarakat masih mendukung, ya, akan bertahan. Kalau tidak, lama kelamaan akan hilang,” katanya.
Sebagai orang tua, sambungnya, salah satu tugasnya adalah menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi seiring perubahan zaman. Tapi mereka tidak bisa lepas dari tata krama.
“Wanita dalam jawa artinya Wani Ditata. Senantiasa mengikuti apa yang diatur dalam budaya Jawa. Misal anak mau ikut tari modern, boleh, tapi harus tetep bisa nari jawa. Jadi budaya tetep enggak hilang,” ujarnya.
Tata krama dan Unggah-Ungguh itulah yang kemudian, kata Djoko, akan menentukan seorang anak perempuan piawai menjadi seorang ibu. Karena dalam budaya Jawa, perempuan haruslah Asah, Asih, dan Asuh.
“Asah itu berarti seorang ibu harus punya wawasan luas untuk mengelola keluarga dengan baik. Kedua. Asih. Itu terkait dengan bagaimana mengasihi putri, putra, dan suaminya,” ujarnya.
Sebaliknya, dalam konteks asih ini, di dalam Budaya Jawa, seorang suami bukan hanya sebagai panutan keluarga. Suami juga harus bisa menjadi teman dan pengayom, baik bagi istri dan anaknya.
“Oleh karena itu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali meremehkan wanita. Karena wanita itu ibaratnya gelas kristal yang mudah pecah. Suami harus mau menghargai istri atau garwa: Sigarane Nyawa (separuh nyawa),” ujarnya.
Terakhir, seorang ibu haruslah memiliki kemampuan asuh. Asuh itu mendidik. Dalam mendidik inilah, kata Djoko, perempuan diharapkan harus bisa ngayomi keluarga. Pada konteks inilah perempuan juga punya hak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
“Karena itu saya madul (bilang) di awal. Kalau punya anak perempuan, ibaratnya seperti itu. Setiap saat meskipun sudah sarjana, sudah lulus, kalau sudah jam sembilan saya selalu khawatir, selalu menanyakan,” ujarnya.(den)