Hikmah Bafaqih Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur mengatakan bahwa akar utama permasalahan tumbuhnya kekerasan seksual karena pengasuhan keluarga, masyarakat, media, dan negara yang masih salah.
“Saya sering mengatakan ini, kita harus menciptakan pola pengasuhan berbasis masyarakat, yang mana terdapat semua lini harus turut berperan dalam menumpas akar kekerasan seksual,” kata Bafaqih saat dihubungi Radio Suara Surabaya, Sabtu (11/12/2021).
Kata Wakil Ketua Komisi E itu, dalam rancanagan Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Seksual Perempuan dan Anak terdapat tiga lini, di antaranya lini pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi.
“Saya rasa di lini pencegahan ini semua elemen harus turut aktif dan partisipatif, termasuk masyarakat, organisasi masyarakat, maupun pihak keamanan,” tuturnya.
Selain pencegahan Bafaqih juga menuturkan fungsi pada lini penanganan yang diperankan oleh organisosial maupun organisasi pemerintah.
“Dalam lini ini, lembaga jasa penanganan bakal menjadi ujung tombak untuk memulihkan kondisi psikis korban dan dalam hal ini negara harus hadir untuk memberikan fasilitas,” lanjutnya lagi.
Lalu pada lini rehabilitasi, menurut Bafaqih harus memperhatikan korban secara sosial dan ekonomi, dalam hal ini kasus-kasus kekerasan seksual yang dampaknya harus menjadi beban bagi korban, misalnya kehamilan.
“Korban ini juga jangan sampai putus sekolah, mereka yang menjadi korban maupun kurang mendapat seks edukasi harus tetap diakomodasi di ranah pendidikan, saya sering membantu perpindahan anak ke sekolah baru, karena tidak tahan dengan stigma yang kuat,” ujarnya.
Memang untuk mencapai penanganan dan regulasi yang sesuai untuk menangani kekerasan seksual tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kondisi itu terwakilkan oleh ketidakmampuan 12 korban pemerkosaan oleh seorang guru sekaligus pemilik pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat untuk melaporkan si pelaku karena timpangnya relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Kedudukan pelaku yang lebih tinggi dari korban membuat si korban merasa tidak aman saat dirinya melapor.
“Mereka tidak akan se aman itu kalau berani melapor, misal siapa yang mau kasusnya viral di internet, si korban akan mendapat kekerasan ganda,” kata dia.
Alih-alih tuntas dalam mengawal perlawanan, kata Bafaqih kekerasan ganda juga bakal dijumpai di masyarakat.
Menurutnya masyarakat masih belum bisa menempatkan empatinya di kepentingan yang tepat terhadap si korban saat mendapati korban kekerasan seksual.
“Empati kita ketika mendapati korban kekerasan harus pada koridor kepentingan terbaik bagi si korban,” tegasnya.
Kepada masyarakat dia menyarankan saat mendapati korban kekerasan seksual lebih baik ditangani oleh ahlinya, dan jangan sembarangan menempatkan empati.(wld/ipg)