Pemerintah Kota Surabaya berencana akan menyulap Jalan Tunjungan menjadi tempat wisata, dengan mengkolaborasikan wisata budaya dengan nuansa kekinian. Gedung-gedung tua akan ditonjolkan menjadi wisata heritage, ditambah dengan stan-stan UMKM dengan adanya pertunjukan kesenian.
Putu Rudi Setiawan Ketua Ahli Perencanaan Jatim mengatakan, mengubah Jalan Tunjungan menjadi kawasan wisata masih memerlukan lebih banyak kajian. Mengingat selama ini, kawasan Tunjungan berdiri tanpa ada direncanakan menjadi kawasan wisata budaya. Alhasil, banyak unit-unit bisnis yang telah berdiri di sana yang tidak berkorelasi dengan tujuan wisata.
Untuk itu, Pemkot Surabaya harus mempertimbangkan keberlanjutan unit-unit usaha yang telah berdiri di sana. Apakah mereka akan diminta berganti usaha, atau dipindah ke tempat lain, atau dilakukan blending atau pencampuran. Sehingga Pemkot masih perlu kajian secara komprehensif agar kegiatan-kegiatan wisata di sana dapat terintegrasi satu sama lain.
“Apakah wisata itu akan meniadakan kegiatan lain atau blending? Ini harusnya dipikirkan kembali. Karena kegiatan di sana sudah establish dan ditegaskan sebagai kawasan perdagangan retail,” kata Putu kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (3/11/2021).
Putu menyarankan agar kawasan wisata Tunjungan nantinya dibuka secara bergantian dengan kawasan perdagangan di sana. Sehingga menggunakan sistem switching atau bergantian dalam memanfaatkan ruang. Sehingga keduanya memiliki jam operasional masing-masing tanpa mengganggu unit-unit bisnis yang sudah berdiri di Jalan Tunjungan.
Kalau pun ingin dibuka secara permanen, Pemkot Harus mempertimbangkan apakah unit bisnis yang sudah berdiri di sana, namun usahanya tidak berkorelasi dengan wisata, harus berganti usaha atau dipindahkan. Karena nantinya, hal itu juga akan berdampak kepada pengusaha di kawasan Tunjungan.
“Jadi wisata dihadirkan saat usaha-usaha yang ada di sana tutup. Atau pas weekend. Jadi ruangnya bergantian. Kalau bersama-sama, ada kegiatan yang tidak ada relasi dengan wisata,” tambah Pakar Tata Ruang dan Lingkungan Hidup sekaligus dosen perencanaan wilayah dan Kota ITS tersebut.
Selain itu, Pemkot Surabaya juga harus menghitung secara detail, luas area yang akan digunakan untuk wisata serta ruang-ruang penunjang serta dimensi jumlah pengunjung yang akan memenuhi kawasan tersebut. Jangan sampai, berdirinya kawasan wisata Tunjungan malah mengganggu kegiatan di sekitarnya seperti menimbulkan kemacetan dan lahan parkir yang merembet ke jalan raya dan bangunan di sekitarnya.
“Kalau kegiatan wisata dihadirkan, perlu dikalkulasi size-nya berapa, dimensinya berapa, diperkirakan kebutuhan (parkir) R2 berapa, R4 berapa, kendaraan umum berapa. Lalu kebutuhan air bersih berapa, penanganan sampahnya juga. Itu harus diproyeksikan. Kalau enggak akhirnya kontraproduktif dan implikasi negatif,” paparnya.
Apalagi, lanjut Putu, Jalan Tunjungan termasuk salah satu jalan protokol di Surabaya yang ramai dilalui kendaraan. Jika nantinya jalan Tunjungan ditutup dan diubah sebagai jalan wisata, maka Pemkot Surabaya juga harus menyiapkan jalur-jalur alternatif sehingga tidak mengganggu arus lalu lintas dalam kota.
Putu sekaligus mengingatkan, agar branding wisata Jalan Tunjungan tidak bias. Jika memang direncanakan sebagai kawasan wisata budaya, maka komponen yang dihadirkan juga harus selaras dengan kegiatan-kegiatan budaya. Misalnya atraksi budaya dan pertunjukan kesenian.
Begitu juga soal stan makanan yang ada di sana, dapat dilaraskan sesuai dengan branding yang diangkat. Jangan sampai, kawasan wisata budaya menjadi bias menjadi kawasan wisata kuliner atau cafe.
Ia menanggapi soal rencana pemanfaatkan rooftop gedung sebagai cafe atau tempat pertunjukan. Menurut Putu, rencana tersebut harus mempertimbangkan tata aturan, konstruksi gedung dan tampilan.
“Itu ide yang bagus, peluang usaha. Tapi pemilik usaha akan mikir, nanti ke rooftop lewat mana? Apakah lewat dalam kantor? kalau tidak, berarti kan membutuhkan tangga lain, dan itu harus berdasarkan izin. Juga pertimbangan konstruksi kalau rooftop sebagai tempat kegiatan,” ujarnya.
“Kalau semua mengembangkan seperti itu, brand jadi bias. Wisata budaya, tapi kok jadi wisata kuliner, karena semua bangunan diusahakan menjadi cafe,” tuturnya.(tin/ipg)