Jumat, 22 November 2024

Tiba di Indonesia, Maria Langsung dibawa ke Bareskrim Untuk Jalani Proses Hukum

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM bersama buron pelaku pembobilan BNI Maria Pauline Lumowa yang diekstradisi dari Serbia, Rabu (8/7/2020). Foto: Kompas/Humas Kemenkumham

Maria Pauline Lumowa (MPL) tersangka Letter of Credit (L/C) fiktif bank BNI telah tiba di Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 10.30 WIB, Kamis (9/7/2020). Maria diekstradisi dari negara Serbia je Indonesia.

Masuk ke Bandara Soekarno Harta, Tabgerang, Banten, MPL langsung menjalani pemeriksaan kesehatan atau rapid test karena kondisi di Indonesia masih Pandemi Covid-19.

Sebelum menggelar konferensi pers, Yasona Hamonangan Laoly Menteri Hukum dan HAM minta petugasnya menghadirkan MPL di depan wartawan untuk ditunjukkan kalau MPL sudah ditangkap.

Para juru foto dan kamerawan TV sempat berteriak minta masker dibuka, tetapi MPL tidak memberi respon dan tetap menunduk saja dengan memakai baju tahanan warna oranye dari Bareskrim Polri serta mengenakan penutup kepala dengan tangan terikat di depan.

Sejenak setelah ditujukkan wartawan, MPL langsung meninggalkan konferensi pers di ruang VVIP terminal 3 Bandara Soekarno Hatta untuk dibawa ke kantor Bareskrim Polri, jalan Trunojoyo Jakarta Selatan.

Mahfud MD Menko Polhukam menjelaskan kalau proses ekstradisi MPL ini sudah sekitar satu tahun.

“Maria Pauline Lumowa ini sejak Juli 2019 diketahui di Serbia, sehingga sudah sekitar satu tahun berada disana, dan baru bisa diekstradisi ke Indonesia sekarang,” ujar Mahfud dalam konferensi pers bersama Yasona H Laoly Menkumham, Kamis (9/7/2020).

Menurut Mahfud, Menkumham bekerja sangat hati-hati dan bekerja dengan senyap, karena proses ekstradisi ini cukup lama.

“Atas nama pemerintah Indonesia, saya mengucapkan terimakasih kepada pemerintah Serbia,” jelasnya.

Dia juga mengaku telah bicara langsung dengan MPL. Rencananya, MPL akan menunjuk kuasa hukum dari Kedutaan Besar. Sekadar diketahui MPL saat ini adalah warga nega Belanda.

“Saya sudah bicara langsung dengan MPL. Dia sudah menunjuk kuasa hukum dari Kedubes, karena dia bukan WNI,” tegasnya.

Sementara Yasona menjelaskan kalau ekstradisi MPL sebagai bukti kalau negara Indonesia adalah negara hukum.

“Ini proses pencarian panjak untuk menunjukkkan negara kita adalah negara hukum,” kata Yasona.

Yasona menceritakan, setelah melarikan diri ke Singapura dan ke Belanda, pemerintah Indonesia sudah mengupayakan ekstradisi, tapi Belanda menolak karena belum ada perjanjian ekatradisi.

Sekadar diketahui, Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 Triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari ‘orang dalam’ karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.

Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.

“Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham,” kata Yasonna.

“Selain itu, keseriusan pemerintah juga ditunjukkan dengan permintaan percepatan proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa. Di sisi lain, Pemerintah Serbia juga mendukung penuh permintaan Indonesia berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara. Dengan selesainya proses ekstradisi ini, berarti berakhir pula perjalanan panjang 17 tahun upaya pengejaran terhadap buronan bernama Maria Pauline Lumowa. Ekstradisi ini sekaligus menunjukkan komitmen kehadiran negara dalam upaya penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia,” kata Yasonna.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs