Sabtu, 23 November 2024

Tes Covid-19 Lambat dan Minim, Indonesia Mutlak Harus Punya Obat dan Vaksin Sendiri

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Drajad Wibowo. Foto: Faiz suarasurabaya.net

Dradjad Hari Wibowo ekonom senior Indef menyampaikan betapa krusialnya tes Covid-19 yang masif dan cepat. Kasus baru-baru ini di Ciseeng, Kabupaten Bogor adalah contoh alasannya.

Dradjad menceritakan kalau salah satu warga Ciseeng meninggal, diduga jantung. Mungkin karena gejala klinisnya, dokter melakukan tes swab. Pada hari ke-8 setelah pemakaman baru diketahui almarhum positif corona. Padahal pemakaman telanjur dilakukan tanpa prosedur Covid19. Keluarga dan tetangga sekampung juga tahlilan, dan mereka sekarang menjadi ODP.

“Di Ciseeng Bogor yang dekat sekali dengan Jakarta perlu 8 hari. Bagaimana dengan daerah lain yang jauh?” kata Dradjad dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/4/2020).

Dradjad yang gelar masternya mengambil kesehatan masyarakat dari sisi ekonomi ini mengatakan, hanya karena lambatnya tes, banyak sekali orang yang bisa tertular. Termasuk tentunya dokter, perawat dan tenaga non-medis rumah sakit.

“Jadi sekali lagi, tes tes dan tes. Sebanyak mungkin, secepat mungkin,” tegasnya.

Dengan kinerja tes seperti itu, kata dia, jumlah pasien Covid-19 di Indonesia bisa banyak sekali. Kecuali, ada mu’jizat dari Allah, entah melalui panas dan hujan, atau rahasia-Nya yang lain.

Repotnya, menurut Dradjad, kapasitas pelayanan kesehatan di Indonesia sangat terbatas. Jumlah dan kualitas ruang isolasi, APD, ventilator dan sebagainya juga terbatas.

Karena itu, dia menegaskan, sangat mutlak bagi Indonesia untuk punya obat dan vaksin sendiri.

“Ini harga mati,” tegas Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN).

Menurut dia,Indonesia tidak bisa mengandalkan vaksin dari negara lain. Jumlah penduduk dunia saat ini hampir 7,8 miliar. Permintaan global terhadap vaksin corona akan berjumlah miliaran.

Dradjad mengatakan, negara maju penemu vaksin tentu lebih memrioritaskan warganya, dan harganya pun bisa mahal. Padahal minimal 163 juta penduduk Indonesia harus divaksinasi untuk mencapai herd immunity.

“Itu baru vaksin SARS-CoV-2. Dengan kecepatan mutasi berbagai virus corona, bisa jadi diperlukan beberapa jenis vaksin dan obat,” tegasnya.

“Jangan lupa, saat ini sebagian ilmuwan sudah memikirkan bagaimana lanskap global paska corona atau AC (after coronavirus). Misalnya, otomasi dan robotisasi akan semakin menguasai proses produksi,” imbuhnya.

Dradjad menjelaskan, pelayanan kesehatan, farmasi, biologi, industri alat kesehatan, asuransi kesehatan dan bisnis terkait lainnya akan semakin penting.

“Di sisi lain, Indonesia kaya biodiversitas sebagai bahan obat dan vaksin. Ini keunggulan komparatif kita, yang selama ini sering dirusak tidak lestari,” jelasnya.

Mengenai obat, kata Dradjad, Indonesia sudah ikut Solidarity Trial-nya WHO. Ada 4 obat yang dicoba, yaitu remdesivir, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kaletra (kombinasi lopinavir + ritonavir) dan kaletra + interferon beta.

Indonesia lebih banyak memakai klorokuin. Dradjad mengaku belum tahu bagaimana efeknya terhadap tingkat fatalitas Covid-19. Jika obat lain ternyata lebih efektif, tentu Indonesia harus impor lagi.

Jadi, menurut Dradjad, mempunyai obat dan vaksin sendiri itu sinergi kebijakan kesehatan dan ekonomi yang sangat mendesak.

“Karena itu saya usul, sediakan dana yang besar bagi penemuan dan produksi obat dan vaksin. Gerakkan BUMN kesehatan dan farmasi, berbagai riset berbasis biologi, para ilmuwan berbagai cabang biologi, dokter peneliti dan sebagainya,” ujar Dradjad.

“Jika kita bisa menekan wabah ini, apalagi mampu memanfaatkan peluang di balik wabah, kepercayaan terhadap perekonomian kita akan cepat pulih,”pungkas Dradjad.(faz/tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs