Dr. Muhammad Atoillah Isfandiari Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair menilai langkah Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya mengambil kebijakan testing massal (rapid test dan swasb test) sudah tepat. Dengan identifikasi itu maka bisa semakin jelas sejauh mana Covid-19 menginveksi dan bisa terarah penangannya.
“Kebijakan Bu Risma sudah tepat dalam melakukan testing massal. Sudah tepat, pro sains karena itu standar WHO,” ujar Atoillah dihubungi suarasurabaya.net, Sabtu (6/6/2020).
Atoillah mengatakan, WHO itu mensyaratkan suatu daerah boleh melakukan pelonggaran, kalau tiga kriteria sudah terpenuhi. Tiga kriteria itu data transmisi (penularan). Misalnya Surabaya, walaupun merah pekat dengan jumlah kumulatifnya tinggi, tapi pertambahan kasus dalam artian satu orang menular ke berapa orang lain itu harus dilihat meningkat atau tidak.
“Kalau tidak meningkat ya jumlah kumulatif itu menjadi tidak penting lagi, dalam rangka menuju new normal nanti. Yang terpenting jumlah penularan baru setiap hari. Itu bisa diketahui melalui testing masal ini,” katanya.
Kriteria kedua adalah Rumah Sakit harus mampu menangani 60 kasus. Kriteria ketiga adalah kapasitas testing semakin tinggi. Standar WHO per 1 juta penduduk ada 3500 testing. “Kalau Surabaya sudah masuk kriteria ini bagus bisa pelonggaran nantinya,” kata Atoillah.
Menurut Atoillah, secara epidemiologi tes massal itu sangat menguntungkan untuk mendeteksi kasus confirm sekaligus memetakan sejauh mana peningkatan penularannya. Sehingga, jangan dinilai jumlah angkanya, apalagi label warna merah pekat yang melekat di Kota Surabaya.
“Jangan dilihat angka absolutnya bahkan Surabaya itu zona merah pekat. Dari sekian ribu (confirm) itu, sekian ratusnya kan sudah sembuh. Jadi harus dikurangi sebenarnya, jumlah komulatif yang dilaporkan dengan jumlah sembuh. Itulah jumlah riil pasien Surabaya sekarang ini yang tidak terwakili oleh warna itu. Karena warna mewakili jumlah komulatif,” kata Atoillah.
Selain itu, kata Atoillah, angka kematian karena Covid-19 di Surabaya 8,4 persen tidak serta merta disimpulkan angka yang tinggi setelah tes massal dilakukan. Karena kalau sudah bisa mendeteksi banyak orang dan semua relatif asimtomatik (kasus orang tanpa gejala), maka jumlah orang yang meninggal dibagi jumlah kasus semakin banyak itu akan menghasilkan angka semakin kecil.
“Itu nanti akan membuktikan tingkat kematian di Surabaya itu nggak tinggi. Yang bikin tinggi itu karena kita belum menemukan kasusnya yang masif,” katanya.
Atoillah menilai, kasus Covid-19 di Kota Surabaya masih sedang banyak-banyaknya atau posisinya sedang di puncak. Maka dari itu, Pemkot Surabaya tidak boleh kendor untuk menerapkan disiplin Tiga T (Testing, Tracking, dan Treatment). Selain itu, kampanye destigmatisasi juga perlu disosialisasikan. Karena setigma Covid-19 di masyarakat yang masih terjadi bisa menghambat langkah Tiga T itu.
“Kalau sudah puncak akan ada tahapan penurunan. Maka jangan kendor, Tiga T tetap kenceng. Selain, Tiga T, kalau bisa ada program destigmatisasi. Sekarang masih kenceng stigma ini, sehingga orang takut dites, dan menjauhi dan mengucilkan pasien. Ini juga bikin banyak orang stress lalu imun turun,” katanya. (bid/bas/ipg)