Sulur-sulur tangkainya sudah membesar dengan daun yang tumbuh lebat. Tergolek beberapa buah semangka di lahan kosong seluas lima kali tiga meter di belakang salah satu rumah di Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Tidak banyak yang memperhatikan.
Tidak banyak pula yang tahu, semangka-semangka yang sudah siap panen itu menjadi perhatian penuh dari Andrean Ervianto, seorang Mahasiswa semester akhir Jurusan Geografi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yang sejak pertengahan Maret lalu memilih pulang kampung.
Pandemi Covid-19 di Jawa Timur yang dimulai dari munculnya beberapa kasus infeksi Covid-19 di Surabaya pada pertengahan Maret memang membuat hampir semua kampus di Surabaya menerapkan kebijakan kuliah secara dalam jaringan (daring/online).
Andrean pun merasa punya banyak waktu luang di luar jam kuliah online. Setelah mengalami masa-masa rebahan, yang secara otomatis membuatnya tetap di rumah saja, ada semacam ilham yang datang setelah dia melihat lahan kosong di belakang rumahnya.
Keinginan untuk mengisi waktu luang dengan berkebun di luar kuliah daring semakin kuat ketika suatu saat dia rebahan sembari berselancar ke sejumlah toko daring yang menjual bibit tanaman. Maka jadilah. Dia belanja sejumlah bibit tanaman itu.
Tidak hanya semangka, selama tiga bulan belakangan Andrean sudah beberapa kali memanen tanaman sayuran seperti terong, cabai, dan sawi. Juga sejumlah tanaman toga seperti jahe, kunyit, dan daun sirih. Tentu bukan dengan cara yang instan, sekali sebar langsung panen dengan hasil besar.
Berkebun, bagi seorang mahasiswa semester akhir jurusan Geografi tetaplah sebuah misteri. Meski mempelajari struktur tanah atau bebatuan, Andrean tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk menanam sesuatu. Tetapi tips dan berbagai trik menanam dari orang-orang yang sudah berpengalaman banyak tersedia di berbagai channel YouTube.
“Cara bertani itu benar-benar saya pelajari otodidak lewat YouTube dan situs-situs di google yang mengulas cara menanam. Ya, yang gitu-gitu, itu. Kan, banyak media-media yang memang khusus mengulas cara bertani dan perawatannya,” katanya.
Tidak hanya mencoba berbagai macam teknik menanam secara konvensional dengan medium tanah, untuk mengatasi keterbatasan ruang, dia juga mempelajari teknik menanam dengan cara hidroponik untuk beberapa jenis tanaman seperti cabe, terong, dan sawi.
Benar saja, Andrean mengakui di awal-awal dia belajar bertani, banyak bibit yang terbuang sia-sia. Beberapa kali dia coba menanam bibit-bibit itu dengan berbagai teknik, gagal total, mati sebelum memberi hasil sesuai harapan.
“Awal-awal dulu banyak yang tidak jadi tanamannya. Layu karena kurang perawatan. Saya perlu belajar lagi lah. Kalau kesannya sih menyenangkan banget,” katanya.
Bertani di tengah pandemi menurutnya menjadi pilihan tepat untuk mengisi waktu luang selama di rumah saja bagi pekerja atau mahasiswa. Perawatan tanaman bisa disesuaikan dengan aktivitas bekerja atau belajar dari rumah.
Kalau Andrean, jadwal rutin yang dia terapkan, perawatan tanaman hanya perlu dia lakukan saat pagi dan sore. “Itu kalau saya. Terutama menyirami tanaman. Soalnya, siang saya harus kuliah online atau sekadar menyapa teman-teman,” katanya.
Andrean bersyukur, ternyata selain untuk mengisi waktu luang, aktivitas berkebun menurutnya bisa menciptakan ketahanan pangan bagi keluarganya di masa pandemi. Panen dari sejumlah tanaman dari kebun yang sudah dia rawat bermanfaat bagi keluarganya.
“Syukur Alhamdullilah, hasil panen bisa bermanfaat untuk memenuhi sebagian kebutuhan keluarga. Jadi tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk sehari-hari, karena bisa dipetik dari kebun sendiri,” ujarnya.
Kalau kebutuhan sudah tercukupi, hasil panen dari kebunnya itu juga dia jual. Misalnya cabe dan semangka, dia jual hasil panen itu ke orang lain. Dia manfaatkan media sosial untuk mempromosikan semangka hasil panennya. Sedangkan cabe, dia jual ke warung-warung di sekitar rumah.
“Cabe dan semangka yang banyak. Saya jual sebagian. Ya, lumayan juga untuk menambah pundi-pundi uang buat jajan dan bantu-bantu keluarga,” katanya.
Pandemi Covid-19 telah mengubah cara hidup sebagian besar masyarakat. Termasuk keluarga Andrean. Ada yang bisa bertahan, ada yang tenggelam dalam keputusasaan.
Kepada suarasurabaya.net, Andrean menyarankan mahasiswa lain yang juga harus menjalani kuliah online, daripada terjebak rutinitas rebahan, lebih baik mengisi waktu luang dengan lebih bermanfaat. Berkebun salah satunya.
Menemukan Solusi di Tengah Pandemi
Sebagai kalangan milenial, mahasiswa di era pandemi selalu punya sudut pandang unik dalam melihat berbagai permasalahan. Cara pandang Yunita Aris Melia terhadap masalah yang dihadapi keluarganya, misalnya, bisa menjadi teladan bagi mahasiswa lainnya.
Sama halnya dengan Andrean, Mahasiswi semester akhir Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya itu memilih tidak terjebak situasi rebahan yang sungguh melenakan. Apalagi keluarganya termasuk yang terdampak pandemi.
Ayah Yunita penjual pentol keliling. Ketika Pemkot Surabaya mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ayahnya terpaksa berhenti berjualan karena banyak kampung di Surabaya yang ditutup. Termasuk di kawasan Kenjeran dan Bulak tempat tinggal keluarga Yunita.
Saat itulah Yunita yang juga merasa punya banyak waktu luang kembali menyampaikan idenya untuk membantu menjual pentol secara daring. Ya, sebelum pandemi, sebenarnya Yunita sudah pernah menyampaikan niat ini kepada ayahnya.
“Dulu pernah bicara soal ini. Tapi terkendala sama kurangnya pengetahuan orang tua. Ada keraguan. Kalau di-online-kan, menurut ortu, kurang bisa menjamin (penjualannya). Motivasinya, Bapak sudah sepuh, 56 tahun. Kasihan kalau masih keliling,” katanya.
Persetujuan ayahnya untuk menjual pentol secara daring pun menjadi salah satu hikmah positif dari Pandemi Covid-19 yang sedang dialami seluruh masyarakat di Jawa Timur.
“Mungkin ini jawaban dari yang Maha Kuasa. Aku coba ngomong lagi ke ortu, akhirnya setuju,” ujarnya.
Segera saja dia online-kan pentol bikinan ayahnya. Pertengahan Mei lalu, dia mulai memposting foto-foto varian produk pentol buatan ayahnya, yang sudah cukup dikenal pelanggan dengan nama Pentol Eco, ke sejumlah platform media sosial. Facebook dan Instagram.
Sementara ini, Yunita masih mengandalkan sistem COD. Dia antar sendiri pentol itu ke rumah pemesan. Dia berharap, pengajuan kerja sama menjadi mitra Go-Food yang telah dia ajukan segera disetujui. Supaya jangkauan pasar untuk Pentol Eco buatan ayahnya semakin luas.
Penjualan secara daring memang memungkinkan seorang pedagang meningkatkan nilai dari produk yang mereka jual. Yunita menawarkan Pentol Eco dengan menu paket dan harga yang lebih bersaing. Dia juga memikirkan kemasan produk yang kekinian.
Dengan harga 10 ribu per paket, setidaknya dalam sehari dia bisa menerima rata-rata pemesanan dari 12 orang pelanggan. Memang saat ini hasil penjualan secara daring masih lebih kecil dibandingkan hasil penjualan secara luring (luar jaringan) dengan cara keliling. Yunita yakin, ini adalah awal dari sebuah harapan baru.
“Sekarang memang masih banyak penghasilan ketika offline. Karena sudah ada langganan (jualan keliling). Kalau online, masih berusaha nyari (pasarnya). Semoga ke depan semakin banyak pesanan,” katanya.
Yang paling penting dan sangat dia syukuri, setidaknya ayahnya sekarang sudah mulai merasakan manfaat dari sistem penjualan daring yang memang baru baginya. Ayahnya kini sudah mempercayakan pengembangan usaha pentol ini kepadanya.
Yunita yang sedang menunggu yudisium sebelum resmi menjadi seorang wisudawati pun punya kegiatan yang kini dia jalankan secara fokus. Mimpinya, suatu saat, usaha pentol yang dirintis ayahnya sejak 1996 bisa berkembang pesat seiring perkembangan zaman.
“Orang tua udah enggak muda lagi. Saya ingin membantu agar usaha ini tetap jalan dan berkembang. Sekarang, kan, banyak makanan yang dijual secara online, bahkan bisa sampai ke kota-kota lain. Punya outlet dan banyak cabang. Siapa sih yang enggak punya cita-cita gitu. Ini cara buat saya ngebanggain ortu,” katanya. (bas/den/ang)