Jumat, 22 November 2024

Satgas Covid-19 Tegaskan Kerumunan Jadi Pemicu Klaster Baru

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi. Grafis : dok. suarasurabaya.net

Satgas Penanganan Covid-19 mengungkapkan, kegiatan masyarakat yang mengundang kerumunan di berbagai daerah terbukti menimbulkan klaster baru Covid-19.

Wiku Adisasmito Koordinator Tim Pakar Satgas Covid-19 mengatakan, sedikitnya ada enam kerumunan massa yang kemudian menjadi klaster penyebaran Virus Corona.

“Berdasarkan data nasional, terdapat berbagai kegiatan kerumunan yang berdampak pada timbulnya klaster penularan Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia,” ujarnya di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (26/11/2020).

Pertama, kerumunan pada Sidang Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Majelis Sinode menghasilkan 24 kasus pada 5 provinsi.

Klaster itu, kata Wiku, berawal dari kegiatan agama di Bogor, Jawa Barat, yang diikuti 685 peserta.

Lalu, berkembang dan menyebar ke provinsi lainnya antara lain Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Kedua, klaster kegiatan Bisnis Tanpa Riba menghasilkan 24 kasus di 7 provinsi dan menimbulkan korban jiwa sebanyak tiga orang. Case fatality rate kasus itu mencapai 12,5 persen.

Sama seperti klaster GPIB Sinode, klaster Bisnis Tanpa Riba berawal dari kegiatan di Bogor yang diikuti 200 peserta.

Kasusnya berkembang dan menyebar ke berbagai provinsi seperti Lampung, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Papua.

Klaster kerumunan keempat yang tercatat ada di Lembang, Jawa Barat, yaitu klaster Gereja Bethel. Kegiatannya melibatkan sekitar 200 peserta menghasilkan 226 kasus dengan infection rate mencapai 35 persen.

Klaster dari kerumunan yang kelima, Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan, dengan total peserta sekitar 8.761 orang menghasilkan 1.248 kasus pada 20 provinsi.

Keenam, klaster Pondok Pesantren Temboro di Jawa Timur menimbulkan 193 kasus di 6 provinsi di lebih dari 14 kabupaten/kota dan satu negara lain.

“Tidak heran bahwa klaster tersebut terjadi karena adanya kerumunan di masyarakat. Karena masyarakat sulit menjaga jarak,” katanya.

Fenomena klaster kerumunan, lanjut Wiku, juga pernah terjadi waktu Kapal Pesiar Diamond Princess, mengangkut 2.000-4.000 penumpang dan harus dikarantina di Jepang pada bulan Februari tahun 2020.

Itu karena di dalam kapal penuh sesak dan sulit menjaga jarak. Akibatnya, 17 persen dari 3.700 penumpang dan awak kapal terinfeksi Covid-19.

“Penelitian dari Ibrahim dan Memish tahun 2020 menyatakan kemungkinan adanya hubungan dua arah antara kerumunan dan penyebaran penyakit menular. Itu penting untuk menjadi perhatian publik, bahwa kondisi kerumunan itu harus dihindari,” lanjut Wiku.

Maka dari itu, Satgas Covid-19 mengimbau pemerintah daerah meningkatkan testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan) pascaadanya kegiatan kerumunan massa.

Dokter Wiku menjelaskan, periode inkubasi antara terpapar Virus Corona dan gejala rata-rata cuma lima hari. Gejala bisa muncul dua hari kemudian.

Satgas Covid-19 meminta kesadaran dan kerja sama seluruh elemen masyarakat untuk tidak berkerumun. (rid/ang)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
35o
Kurs