Astrid Regina Sapiie, psikolog, mengatakan bahwa kebingungan yang dialami orang tua saat harus mendampingi anak-anaknya belajar di rumah selama pandemi Covid-19 adalah hal yang wajar.
“Orang tua bingung itu wajar. Karena dalam mengajari anak, guru itu belajar metode didaktik. Itu metode bagaimana memindahkan pengetahuan kepada anak-anak. Orang tua kan tidak belajar. Dianggap itu kan mungkin bukan bagian dari dia. Ini poin yang pertama. Jadi saat orang tua harus berhadapan dengan tugas mengajari anak di rumah, kebingungan. Kan tidak pernah mengerti bagaimana membuat anak memperhatikan dan membantu anak ‘mengunyah’ pelajaran itu,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Minggu (11/7/2020).
Keterampilan mengajari anak-anak, kata Astrid, memang bukan keterampilan yang muncul begitu saja, tapi perlu dipelajari. Diknas seharusnya memberikan modul untuk mengajar anak sesuai jenjang pendidikannya. Namun karena modul itu belum ada, orang tua bisa menerapkan cara mereka dulu belajar atau mengajari teman-temannya. Orang tua juga bisa melihat cara mengajar dari aplikasi bimbingan belajar atau dari sumber lainnya.
“Bagaimana membuat anak-anak mengerti itu perlu metode. Saya mengajar anak saya pakai metode seperti dulu saya mengajari teman-teman saya. Kebetulan saya suka mengajar. Sejak SD saya sudah menjadi mentor bagi teman-teman. Saya harus belajar duluan baru mengajari teman-teman saya. Saat mengajari, saya lihat raut wajah teman saya, apakah dia mengerti, bagaimana cara dia mengerti,” ujarnya.
Dalam mengajari anak, orang tua juga bisa membagi tugas, siapa yang lebih sabar. Sebab, secara psikologis, kalau anak itu bahagia atau senang, dia lebih mudah memahami pelajaran.
Astrid pun membagikan pengalamannya mengajari anak-anaknya. Sejak anak-anaknya masih kecil, setiap hari setiap pukul 16.00 – 18.00 Astrid duduk bersama anaknya di meja belajar. Saat anaknya mengerjakan PR, Astrid duduk dan melihat saja, kalau mereka tidak tahu, baru dia mengajari.
“Kalau saya, pastikan ada jam belajar sehingga anak juga terbiasa di jam itu duduk di meja untuk belajar.
Saat itu duduklah bersama anak-anak. Sambil menemani anak saya belajar, saya sesekali baca majalah, tapi saya tidak boleh nonton televisi. Juga jangan bermain handphone karena ini waktu belajar. Ajak anak belajar dengan bernyanyi dan menari. Judulnya, kasih sayang,” kata Astrid.
Agar bisa mengajari anaknya, Astrid membaca semua buku pelajaran anaknya terlebih dahulu. Bahkan mulai dari kata pengantar dia baca. Selain itu, dia juga bekerjasama dengan guru anaknya. “Bagaimana saya bisa membimbing anak saya kalau saya tidak mengerti mereka belajar apa. Kalau ada materi yang saya tidak mengerti, saya tanyakan ke gurunya,” ucapnya.
Astrid kembali menekankan mengapa orang tua harus belajar. Sebab saat ini kita sudah tidak bisa beromantis-romantis menganggap masa ini hanya masa krisis dan berpikir semua akan kembali seperti sebelum pandemi.
“Kondisi ini sudah berjalan selama enam bulan, maka ayo sekarang kita tata kembali apa tugas kita. Salah satunya pendidikan anak. Banyak peluang bagi orang tua untuk belajar jadi orang tua yang berkualitas,” ujarnya.
“Kata ibu saya, kalau orang itu punya anak, anak itu tidak pernah minta dilahirkan, tapi kamu yang memutuskan kamu ingin punya anak. Jadi anak itu adalah tanggung jawabmu untuk menjadikan anakmu manusia produktif yang bisa berkontribusi di masyarakat. Jadi waktu saya punya anak, pikiran saya adalah pendidikan anak adalah bagian dari saya dan ayahnya,” kata dia.
Mengajari anak belajar awalnya memang berat, tapi nantinya para orang tua bisa menikmati. “Kita jadi tahu banyak hal dan bisa mengembangkan pengetahuan anak,” ujar Astrid.
Risiko anak terus bermain gadget
Membiarkan anak bermain gadget seringkali dirasa menjadi jalan pintas bagi orang tua untuk mengatasi kerewelan anak selama di rumah saja. Namun, Astrid mengingatkan adanya bahaya anak menjadi pecandu gadget. Mengingat lama adaptasi otak hanya memerlukan waktu 21 hari.
“Orang tua jangan malas, ini termasuk bagian dari pendidikan. Momen saat ini akan lewat, usia anak berjalan terus. Apalagi anak-anak di bawah 10 tahun. Bagaimana kalau dia tidak bisa lepas dari game-nya. Kalau bicara adaptasi teknologi, kecanduan beda dengan memakai gadget. Bayangkan kalau ribuan anak menjadi kecanduan game, pornografi, kekerasan,” kata Astrid.(iss)