Sabtu, 23 November 2024
Hari Pers Nasional 2020

Praktisi: Media Harus Lebih Banyak Mendengar Aspirasi Publik

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Abdul Rokhim (kiri) Praktisi Penyiaran Pimred JTV dan Dr. Djoko W Tjahyo Praktisi dan Akademisi Ilmu Komunikasi dalam program wawasan Radio Suara Surabaya yang bertemakan "HPN 2020, Tantangan Industri Media di Era Digital 4.0", Sabtu pagi (8/2/2020). Foto: Tina suarasurabaya.net

Dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2020 yang jatuh pada 9 Februari, media di tengah perkembangan teknologi dituntut untuk lebih banyak mendengarkan aspirasi publik daripada hanya menyalurkan informasi.

Abdul Rokhim Praktisi Penyiaran sekaligus Pimred JTV mengatakan, ini dikarenakan audience saat ini lebih adaptif terhadap beragam informasi, yang tidak kalah dengan para jurnalis profesional.

Menurutnya, media harus lebih banyak menyediakan ruang-ruang berdiskusi untuk meminimalisir polarisasi informasi, saat audience memiliki banyak pengetahuan atau fakta, namun tidak tahu harus disalurkan kemana.

“Kita sebagai media harus banyak mendengar, karena konsumen sekarang antusias dalam beropini dan berpendapat. Media harus lebih menggunakan tempat untuk perbincangan-perbincangan tentang banyak hal yang mereka tahu, dan publik merindukan satu ruang untuk membicarakan itu,” kata Abdul Rokhim kepada Radio Suara Surabaya, dalam program Wawasan “HPN 2020, Tantangan Industri Media di Era Digital 4.0”, Sabtu pagi (8/2/2020).

Ia mengatakan, dengan adanya ruang untuk berdiskusi, maka publik akan menyadari bahwa diluar dirinya ada sudut pandang lain dalam melihat suatu peristiwa. Dengan begitu, mereka akan menghargai berbedaan yang ada.

“Kalau tidak, maka yang ada polarisasi, dan pendapat-pendapat itu tanpa ada ujung kemana pendapat itu dipertemukan. Akhirnya sekali ketemu bertentangan,” ujarnya.

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Dr. Djoko W Tjahyo Praktisi dan Akademisi Ilmu Komunikasi. Menurutnya, media adalah public sphere yang menjadi ‘alun-alun demokrasi’.

Dengan adanya ruang yang mewadahi perbincangan publik, maka publik juga akan memiliki banyak pilihan sudut pandang dalam melihat suatu peristiwa.

“Biarkan publik itu beragam pendapatnya. Saya tahu pendapat orang-orang. Tapi karena saya tahu, pengetahuan saya jadi banyak dari pendapat orang-orang itu, saya jadi respect, walaupun saya tidak setuju. Saya jadi lebih pintar karena punya pilihan,” kata Djoko.

Terlebih lagi, ruang berdiskusi dalam media dianggap lebih aman karena memiliki kode etik yang harus ditaati. Tidak seperti ruang bebas seperti media sosial yang kurang bisa dikonfirmasi kebenarannya dan tidak ada “guard” perbincangan.

Ia juga mengatakan, media harus dapat mendidik publik tentang bagaimana berpendapat yang benar, dengan memberikan informasi yang akurat dan berimbang. Ini karena saat “kran” demokrasi publik terbuka lebar pascareformasi, lanjutnya, banyak dari media yang gagap dengan teknologi dan tidak dapat memanfaatkan aspirasi publik dengan baik.

Abdur Rokhim menambahkan, bahwa sudah saatnya media memiliki kontribusi positif dalam menyediakan ruang informasi untuk bersama-sama mencari solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat.

“Seperti Suara Surabaya memberikan ruang kepada pendengar untuk berpendapat, dan publik mendengar dan bisa menanggapi. Media itu kan ada kode etik jurnalistik, maka akan ada aturan-aturan tertentu. Media harusnya menciptakan tempat-tempat itu, sehingga berkontribusi positif dengan mencari solusi bersama,” paparnya.

Mantan Pemimpin Redaksi Koran Jawa Pos itu juga menyatakan, bahwa audience hari ini memiliki pengetahuan terhadap fakta, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh wartawan. Hanya saja, mereka tidak bisa menyalurkan fakta tersebut dengan pengetahuan jurnalistik seperti news value dan news judgement.

Untuk itu, media diharapkan dapat lebih mendengar publik, memberikan ruang berdiskusi, serta mau belajar memahami perilaku publik yang selalu berkembang.

“Audience itu juga ‘jurnalis’, mereka tahu fakta tapi tidak tahu cara mendelivernya. Maka, tidak bisa lagi orang media ini semena-mena seakan-akan ‘saya yang paling tahu’, jangan-jangan konsumen yang paling tahu. Jadi (media) dituntut kerja keras yang lebih keras,” ujarnya.

Tantangan selanjutnya, adalah bagaimana media tidak terjebak dalam zona nyaman untuk berkembang di dalam satu platform. Ia mencontohkan, dalam satu waktu, audience dapat mencari informasi di 4 platform sekaligus seperti website, facebook, twitter dan televisi. Sehingga jika suatu media tetap bersikukuh bertahan dengan satu platform saja, maka kemungkinan mereka akan ditinggal oleh publiknya.

Hal itu juga menuntut para pekerja media, untuk dapat memanfaatkan berbagai platform dengan berbagai kanal.

“Media sekarang tidak lagi menggunakan cara-cara lama di tengah konsumen yang berubah. Tidak bisa mereka (media) hanya mengandalkan single platform sedangkan konsumen menggunakan multi platform. Maka jurnalis pun juga harus multi talent,” jelasnya.

Sehingga, menurutnya, penting bagi media untuk melakukan konfigurasi untuk merawat publik dengan menyajikan informasi menggunakan berbagai teknologi melalui platform digital yang ada.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs