Komisaris Besar Polisi Jhonny Edison Isir Kapolrestabes Surabaya menegaskan, polisi tidak mendatangi Sekretariat Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Jalan Taman Simpang dan melakukan intimidasi kepada para relawan paramedis.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Tim Relawan Paramedis menyatakan saat bentrokan mewarnai aksi unjuk rasa Tolak Omnibus Law pada Kamis (8/10/2020) petang, sejumlah cukup banyak oknum polisi mendatangi Sekretariat PMKRI di Jalan Taman Simpang Surabaya.
Sejumlah oknum polisi itu memaksa masuk dan sempat melakukan pemukulan terhadap relawan paramedis yang ada di depan sekretariat yang menyatakan bahwa itu adalah posko medis.
Oknum polisi itu ketika berhasil masuk ke dalam meminta para relawan termasuk relawan dokter dari sejumlah kampus di Surabaya yang tergabung dalam tim untuk berjongkok dan mulai mendata identitas masing-masing relawan.
Selain itu, di bagian dalam sekretariat berisi mess untuk anggota PMKRI tidak luput menjadi sasaran amukan oknum itu. Ada sejumlah anggota PMKRI yang tidak turut menjadi relawan paramedis hanya menyediakan logistik jadi sasaran pukulan tongkat karet dan sejumlah kursi plastik dirusak.
Ada salah satu relawan paramedis yang harus mengalami luka parah di bagian dagu dan harus menerima enam jahitan dari tim medis di RS Gotong Royong akibat dipukul oknum polisi dengan tongkat karet secara membabi buta.
Tidak hanya itu, oknum-oknum polisi itu juga mengintimidasi relawan paramedis yang tidak memakai kain palang merah di lengan karena hilang saat terjdinya kaos unjuk rasa dan menuding mereka sebagai provokator lalu menggelandang mereka ke luar posko.
Tidak hanya di dalam posko, sejumlah relawan paramedis yang bersiaga di lapangan, diduga juga menjadi sasaran penangkapan oleh polisi. Totalnya ada sebanyak 16 orang relawan paramedis baik di posko maupun di luar posko yang diduga ditangkap polisi.
Isir, ketika dikonfirmasi mengenai hal ini menjawab singkat. “Kami tidak ada. Kami tidak ada seperti itu,” katanya kepada jurnalis dalam konferensi pers di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (9/10/2020).
Dalam konferensi pers itu Isir menjelaskan bahwa tindakan polisi yang represif memukul mundur para pengunjuk rasa yang dianggap melakukan tindakan yang menyebabkan kerusuhan sesuai dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan Pasal 170 KUHP.
Adapun bunyi pasal 170 KUHP itu mengenai tindak kekerasan terhadap orang yang dilakukan di muka umum. Bunyinya, Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Hari ini, polisi memutuskan untuk membebaskan semua pengunjuk rasa yang ditangkap dalam aksi Unjuk Rasa Tolak Omnibus Law Kamis kemarin. Beberapa di antaranya masih anak-anak, juga ada satu orang mahasiswa.
“Kemarin itu, kalau kawan mahasiswa ada yang kemudian ikut (diamankan), saya pastikan itu kawan mahasiswa di sekitar Grahadi yang tidak memakai jaket almamater. Sejak awal kawan mahasiswa pakai jaket almamater. Kalau pakai almamater, kami mempersilakan, kok,” ujar Isir.
Sementara, berkaitan dalang atau aktor intelektual yang menggerakkan massa yang sebagian besar remaja dan anak-anak yang melakukan perusakana di Grahadi dan sekitarnya, polisi akan terus mendalami.
“Yang jelas proses ini akan terus berlanjut. Kekuatan dokumentasi kami siapa yang berbuat, kami sedang proses pengenalan. Intinya, kami akan melakukan proses pengejaran, bos! Saya tidak mau kota surabaya ini dirusuhi,” ujar Isir.(den/lim)