Sabtu, 23 November 2024

Guru Besar Uinsa: Politik Identitas Tantangan Terbesar Menag yang Baru

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama yang baru dilantik hari ini, Rabu (23/12/2020). Foto diambil sebelum Pandemi Covid-19. Foto: Dok. suarasurabaya.net

Prof KH Abdul A’la Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya bilang, salah satu tantangan terbesar Menteri Agama (Menag) saat ini adalah politik identitas yang berpotensi memecah belah umat dan membahayakan kerukunan antarumat beragama. Dia berharap, Yaqut Cholil Qoumas Menag yang baru dilantik hari ini, Rabu (23/12/2020), segera bergerak mencari solusinya.

“Politik identitas ini menjadi gejala dunia memang. Politik identitas agama yang dilawankan dengan yang lain, kemudian identitas budaya yang dilawankan dengan yang lain. Itu yang mulai menguat. Nah, ini kemudian didukung oleh kerendahan (tingkat) literasi sebagian masyarakat kita, sehingga mudah terprovokasi. Nah ini tantangannya, bagaimana masyarakat bisa melek informasi yang ada,” ujarnya.

Umat yang melek informasi dengan tingkat literasi yang tinggi, kata dia, juga akan berpengaruh dalam menjaga kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama ini, kata Prof A’la, tentu saja juga harus menjadi salah satu prioritas kebijakan Menag. Baik intern umat beragama dan antarumat beragama. Menurutnya, untuk merawat dan meningkatkan kerukunan umat beragama itu butuh strategi dari yang pendek, menengah, sampai empat tahun ke depan.

“Sehingga betul-betul bagaimana umat beragama tidak mudah terprovokasi. Memiliki wawasan lebih luas. Nah pendidikan keagamaan menjadi salah satu yang perlu diprioritaskan juga,” katanya ketika dihubungi suarasurabaya.net via telepon hari ini. “Kemudian moderasi agama atau Islam Wassaqiyah, juga agama lain yang moderat itu juga salah satu yang harus ditumbuhkembangkan di indonesia melalui cara yang lebih strategis, yang lebih diterima oleh siapapun.”

Prof A’la mengaku tidak terlalu akrab dengan Menag baru yang akrab disapa Gus Yaqut itu. Namun, dia mengaku cukup akrab dengan Yayhya Cholil Staquf. Dia menyarankan, Gus Yaqut secepatnya berdialog atau turun ke bawah melihat persoalan yang ada dan secepatnya mencarikan solusi secara holistik agar tercipta suasana beragama yang sejuk di Indonesia. Menurutnya, ketika suasana beragama kembali sejuk, otomatis aspek kehidupan lain akan berkembang lebih kondusif.

“Yang paling dekat adalah bagaimana menciptakan suasana sejuk untuk keberagamaan di Indonesia. Walaupun tidak merata, tapi kan kita melihat ada percikan-percikan baru-baru ini. Inilah tugas Menag menciptakan kesejukan semaksimal mungkin. Kita harus menunjukkan bahwa agama apapun adalah sumber moral yang luhur, yang justru menciptakan kehidupan yang damai sejahtera. Itu yang harus mulai disiapkan,” ujarnya.

Salah satu hal percikan yang dia maksud, yang menjadi perhatian masyarakat belakangan ini, adalah kasus seputar Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dan Front Pembela Islam (FPI). Menurutnya, Kementerian Agama atau Menag secara khusus perlu melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok semacam ini. Mengajak mereka berdialog agar ke depan mereka tidak melakukan hal-hal yang merugikan negara.

“Ajak mereka ngomong, jangan sampai terjadi hal-hal yang membuat rugi dia sendiri atau bangsa ini atau justru merugikan keseluruhan, mulai dari masyarakat, negara, dan pemerintah. Itu yang harus diyakinkan. Tapi sebelum itu, Menag perlu mencari sumber persoalannya, jangan sampai menjadi bola liar yang berkembang di masyarakat karena masyarakat hanya menerima sepotong-sepotong. Maka transparansi harus menjadi satu kemestian,” ujarnya.

Meski demikian, dia menekankan, salah satu pola pikir umat beragama yang perlu diubah, jangan sampai setiap orang beragama di Indonesia dalam menilai orang lain terjebak kepada simplifikasi. Misalnya, menilai seseorang yang melakukan hal tertentu lantas menyimpulkannya radikal dan semacamnya. Menurutnya, pola pikir seperti itu yang perlu Menag perhatikan agar masyarakat menghindari.

“Itu perlu dihindari. Karena radikal itu pemikiran. Kemudian tindakan-tindakan yang mendukung kepada radikalismenya, apalagi sampai melakukan kekerasan, atau berbau teror speech. Itu juga perlu diperhatikan, jangan sampai terjadi di Indonesia,” katanya.

Prof A’la menyadari, urusan Kementerian Agama sangat beragam dan besar. Tidak hanya toleransi umat beragama, Menag juga perlu memperhatikan masalah lain seperti haji dan umrah dan lain sebagainya. Di tengah berbagai urusan yang cukup banyak itu, dia berharap Gus Yaqut mampu menjaga lembaga yang dia pimpin tetap bersih dari hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai keagamaan.

“Mulai dari ketidakjujuran dan semacamnya, itu yang harus dibuat seminimal mungkin terjadi di Kementerian Agama. Karena orang akan melihat, misalnya ada korupsi satu rupiah saja di Kemenag jauh akan menyebar (dan berpengaruh besar) dibandingkan mungkin 10 rupiah di kementerian lain,” katanya.

Karena tidak terlalu akrab dengan Gus Yaqut, dia menyarankan agar Ketua Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor yang merupakan Badan Otonom Nahdlatul Ulama itu benar-benar memilih tim yang mumpuni di bidangnya. Baik Staf Khusus maupun Staf Ahli. Kompetensi yang mumpuni dari para pendamping menteri itu akan memberikan masukan yang mencerahkan dan transformatif.

Dia juga menilai, pelibatan dunia akademisi perlu ditingkatkan. Dia melihat, Fachrul Razi Menteri Agama sebelumnya, kurang mendapatkan masukan maksimal dari staf ahli. Sehingga informasi yang didapat oleh menteri untuk menentukan strategi dan kebijakan terputus. Hal itu tentu akan mempengaruhi strategi dan kebijkaan Kementerian Agama. “Karena itu, menurut saya pelibatan dunia akademisi perlu ditingkatkan,” ujarnya.

Sementara itu, Prof Ahmad Muzakki Sekretaris PWNU Jatim sebelumnya memberikan komentar, kenapa Joko Widodo Presiden memilih Gus Yaqut sebagai Menteri Agama untuk menggantikan Fachrul Razi? Menurutnya, di balik keputusan memilih Gus Yaqut itu ada kemungkinan bahwa Presiden berkepentingan untuk membangun komunikasi yang baik dengan pemangku kepentingan terkait keagamaan. Termasuk pesantren dan pendidikan madrasah.

“Jauh lebih penting dari itu adalah menjaga harmoni dalam keagamaan,” katanya. Sebab, menurut Zaki selama setahun terakhir, Kemenag yang dipimpin Fachrul Razi tidak ada progres dalam hal layanan keagamaan. Apalagi pendidikan pesantren. Dia menilai, terkait relasi dengan kalangan pendidikan Islam itu menag tidak menunjukkan indeks yang baik. Sementara Pandemi Covid-19 menghantam ekonomi di Indonesia.

Hampir senada dengan Prof A’la, Prof Zaki menegaskan, yang dibutuhkan negara ini sekarang adalah stabilitas sosial. Politik identitas dan kuatnya di isu agama menurutnya menjadi salah satu permasalahan yang perlu menjadi perhatian khusus sosok Menteri Agama yang baru. “Posisi kemenag ini bisa menjaga stabilitas. Itu saya membacanya sebagai kebutuhan pemerintah dalam membangun stabilitas sosial,” ujarnya.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs