Yaidah (51) warga Perumahan Lembah Harapan, Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri mengeluhkan ruwetnya pelayanan mengurus Akta Kematian di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surabaya. Karena akta kematian itu sangat penting untuk klaim asuransi, dia harus berkejaran dengan waktu, hingga nekat berangkat ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.
Kisah Yaidah ini bermula saat putra keduanya Septian Nur Mu’aziz (23) meninggal dunia pada bulan Juli 2020. Karena putranya semasa hidup ikut asuransi, maka ada sisa uang klaim kematian yang bisa diambil ahli warisnya yakni Yaidah sang ibu. Tentu membutuhkan syarat dokumen akta kematian.
Awal Agustus 2020, Yaidah bergegas mengajukan permohonan pengurusan akta kematian di Kelurahan Lidah Wetan. Karena ada salah seorang di kelurahan yang meninggal dunia karena Covid-19, kantor Kelurahan dilockdown. Lalu, berkas permohonan itu dititipkan ke petugas untuk diproses.
Setelah hampir sebulan tidak ada kabar, Yaidah menanyakan ke kelurahan. Dia mendapat jawaban kalau petugas kelurahan sudah menyelesaikan entry data dan seharunya sudah bisa jadi di Dispendukcapil.
“Saya diberi info kalau belum jadi,” ujar Yaidah kepada suarasurabaya.net, Kamis (22/10/2020).
Karena deadline klaim asuransi hanya 60 hari, maka Yaidah berpikir keras. Dia tiba-tiba muncul inisiatif untuk mendatangi kantor Diapendukcapil Surabaya di Gedung Siola. Dia ambil berkas yang sebelumnya berada di kelurahan untuk dibawa ke Dispendukcapil.
“Karena di kelurahan tidak bisa, maka tanggal 21 September saya ambil berkas itu, terus saya bawa ke Dispendukcapil,” ujar istri Sutarman ini.
Tiba di Dispendukcapil, Yaidah kena hambatan lagi. Karena masih di masa pandemi, kantor di Gedung Siola Jalan Tunjungan itu tidak melayani tatap muka. Tapi Yaidah memaksa, dia ingin mencari kepastian. Disamping itu, batas waktu klaim asuransi kian menipis. Dia merasa harus bergerak cepat.
“Saya mendapat pelayanan kurang ramah mulai dari kantor bawah. Saya disuruh balik ke kelurahan karena Dispenduk tidak melayani offline tapi hanya online. Terus saya jawab, kalau bisa online dari kelurahan kenapa saya harus datang ke sini. Saya pengen tahu ada masalah apa,” cerita Yaidah.
Yaidah menang dalam argumentasi di lantai bawah Gedung Siola itu. Lalu dia diarahkan ke lantai 3. Yaidah mengaku kembali mendapat sambutan kecut dari petugas kantor itu.
“Yang nunggu lobby juga begitu tidak ramah dia bilang katanya di kantor lantai bawah kalau mau ngurus akta kematian. Saya jawab lagi, kalau ngurusnya di bawah kenapa saya disuruh ke lantai atas,” katanya.
Di tengah perdebatan itu, akhirnya keluar seorang petugas perempuan. Yaidah memberikan berkasnya ke petugas perempuan yang kata dia bernama Anisa itu.
“Setelah berkas saya dibawa masuk ke ruangannya, saya nunggu. Setelah beberapa waktu petugas itu keluar menghampiri saya dan bilang kalau nama anak saya ada tanda petik (tanda koma di atas), itu masih butuh konsultasi ke Kemendagri,” katanya.
Setengah percaya, Yaidah lalu bertanya balik kira-kira kapan akta kematian anaknya bisa beres. Yaidah mengaku mendapat jawaban yang kurang ramah lagi.
“Saya tanya akta ini bisa jadi kapan, malah dijawab ketus ‘Ya lama wong yang masuk dari Juli aja lama apalagi yang baru masuk’. Jawaban itu membuat saya sakit hati, tapi saya tetap tahan emosi,” Yaidah mengisahkan.
Naik Kereta Api ke Jakarta
Di tengah perjalanan pulang dari kantor Dispendukcapil itu, hati Yaidah masih tidak tenang. Perasaan Yaidah campur aduk. Karena kalau akta kelahiran itu tidak segera jadi maka hilang sudah tabungan asuransi anaknya. “Saya kan butuh selametan untuk anak saya. Kemarin-kemarin juga sudah untuk selametan,” katanya.
Belum sampai rumah, Yaidah mendapat ide kalau sebaiknya pergi ke Jakarta. Dia memegang pernyataan sekilas Anisa si petugas Dispendukcapil kalau nama anak Yaidah butuh keputusan dari Kemendagri karena ada tanda petik di nama belakang anaknya Mu’aziz.
“Saya positive thinking, mungkin omongan petugas itu benar. Maka saya berangkat sendiri ke Kemendagri Jakarta,” katanya.
Keesokan harinya tanggal 22 September, Yaidah membulatkan tekat berangkat ke Jakarta. Sejak pagi hari dia mencari surat keterangan sehat untuk pegangan perjalanan. Malam harinya sekitar pukul 21.05 WIB Yaidah bisa berangkat naik kereta api Kertajaya dari Stasiun Pasar Turi dengan tujuan Stasiun Pasar Senen. Di sepanjang perjalanan hatinya terus berdebar-debar, karena Jakarta masih PSBB.
“Saya di kereta terus berdoa, situasi di kereta sepi. Saya sampai di Pasar Senen pukul 08.36 WIB di tanggal 23 September,” katanya.
Sampai di Stasiun Pasar Senen, Yaidah langsung fokus pada tujuan. Kantor Kemendagri. Yaidah minta bantuan tukang ojek agar diantarkan ke kantor itu. Dengan membayar Rp15 ribu, dia sampai di kantor Kemendagri.
Tapi, sesampai di Kemendagri perjuangan Yaidah belum juga mulus. Dia rupanya salah sasaran. Karena kantor pusat itu tidak mengurusi administrasi dokumen akta kematian. Istri Sutarman ini tak menyerah. Dia terus bertanya mencari kepastian. Hingga kemudian petugas Kemendagri akhirnya mengarahkan ke Kantor Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang berada di Jakarta Selatan.
“Terus dijelaskan agar ke kantor Kemendagri bagian Catatan Sipil di Jakarta Selatan. Terus saya dibantu yang jaga di lobby itu. Saya dipanggilkan ojek langganan mereka dengan tarif ojek Rp50 ribu,” kataya.
Sesampai di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta Selatan itu, Yaidah beruntung karena ditemui petugas yang bisa Bahasa Jawa, dia orang Krian Sidoarjo yang kebetulan bertugas di situ. Yaidah langsung meluapkan segala keluhan proses mendapat Akta Kematian anaknya. Yaidah kemudian dibantu petugas itu. Akta Kematian Septian Nur Mu’aziz terbit, melalui kiriman pesan dari ponsel petugas Dispenduk Surabaya ke ponsel petugas Kemendagri di Jakarta.
“Orang kemendagri telepon orang yang di Dispenduk Surabaya. Terus akta itu jadi dan dikirim ke petugas Kemendagri. Saya nunggu sebentar terus bisa diprint di tempat rental dan bisa untuk ngurus klaim asuransi,” katanya.
Sementara itu, Agus Imam Sonhaji Kepala Dispendukcapil Kota Surabaya dikonfirmasi mengatakan, masalah nama yang ada tanda petik itu masih bisa diatasi sebetulnya.
“Nama yang ada tanda petik itu bisa dilakukan sebetulnya. Di aplikasi terbaru memang tidak bisa, kalau di aplikasi lama bisa,” ujar Agus Imam Sonhaji kepada suarasurabaya.net, Kamis (22/10/2020).
Agus mengatakan, akan mengecek kebenaran masalah ini ke anak buahnya. “Saya akan cek anak buah saya, seperti apa itu prosesnya,” katanya.
Agus memaparkan, selama pandemi Covid-19 Dispenduk Kota Surabaya memang membatasi layanan tatap muka. Kecuali memang layanan yang dibutuhkan mendesak.
“Kami memang tidak melayani tatap muka, hanya pada layanan tertentu yang mendesak. Kami tetap atur juga jangan sampai banyak orang. Tapi, (kasus Yaidah) itu kasihan juga kalau sampai ke Jakarta hanya gara-gara ngurus itu (Akta Kematian) berarti ada yang buntu neng arek-arek iki,” kata Agus. (bid/ipg)