Ferdian Andi Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) mengatakan, polemik yang ditimbulkan dari RUU Cipta Kerja harus direspons secara baik dan bijak oleh pemerintah sebagai pihak yang menginisiasi RUU Cipta Kerja ini. Sejumlah persoalan substansial, yang belakangan pemerintah menyebut typo atau salah ketik, semestinya segera diperbaiki karena RUU Cipta Kerja ini merupakan etalase wajah hukum pemerintahan Jokowi.
“Satu bulan sejak penyerahan draft RUU Cipta Kerja dari pemerintah ke DPR telah memunculkan reaksi dari berbagai elemen masyarakat baik kalangan akademisi dan sejumlah stakeholder,” ujar Ferdian saat dihubungi suarasurabaya.net, Sabtu (7/3/2020).
Semestinya, kata dia, respons dan reaksi dari publik ini dapat menjadi masukan penting bagi pemerintah sebagai inisiator RUU Cipta Kerja ini.
Pemerintah harus memastikan secara substansial RUU Cipta Kerja ini tidak keluar dari koridor reformasi dan demokrasi yang telah diperjuangkan bersama-sama pada 21 tahun silam.
“RUU Cipta Kerja justru harus menguatkan bangunan reformasi dan demokrasi,” jelasnya.
Untuk itu, menurut Ferdian, pemerintah sebaiknya pemerintah segera melakukan penarikan RUU Cipta Kerja dari DPR untuk perbaikan materi yang krusial dan yang dinilai menabrak sejumlah prinsip-prinsip dasar dalam bernegara.
“Pemerintah tak perlu gengsi untuk menarik draft RUU Cipta Kerja tersebut,” tegasnya.
Kata Ferdian, Pemerintah juga tidak akan kehilangan muka jika menarik draft RUU Cipta Kerja ini. Setidaknya, penarikan RUU Cipta Kerja ini sebagai upaya mencegah kerusakan yang akan muncul dari RUU ini.
“Mencegah kerusakan harus lebih diutamakan oleh pemerintah ketimbang mendorong kemanfaatan yang diharapkan dari RUU Cipta Kerja ini,” kata dia.
Ferdian menjelaskan, Pasal 70 ayat (1) UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan “RUU dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden”. Surat Presiden mengenai RUU Cipta Kerja ini hingga masa sidang kemarin belum dibacakan dalam rapat paripurna. Secara normatif, draft RUU Cipta Kerja ini dapat ditarik oleh Presiden dari DPR.
Sementara, Pasal 9 ayat (1) Peraturan DPR No 3 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penarikan RUU disebutkan “RUU yang telah diajukan Presiden kepada DPR sebelum memasuki pembahasan pada pembicaraan tingkat I dapat dilakukan penarikan”. Mekanisme penarikan RUU, di Pasal 9 ayat (3) Peraturan DPR No 3 Tahun 2012 disebutkan harus disampaikan oleh Presiden secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan disertai penjelasan alasan penarikan dan dibubuhi tandatangan Presiden. Penarikan RUU dari Presiden tersebut diumumkan oleh Pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
Setelah RUU Cipta Kerja ditarik dari DPR, kata Ferdian, pemerintah harus sungguh-sungguh untuk melakukan perbaikan terhadap sejumlah substansi yang dianggap menabrak prinsip reformasi dan demokrasi. Konsolidasi di internal pemerintah harus segera dilakukan dalam penyusunan draf RUU Kerja ini. Termasuk, pemerintah agar menginisiasi perubahan UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar hukum dalam penyusunan RUU yang berkarakter Omnibus law. Setidaknya dengan langkah ini, dari sisi prosedur penyusunan perundang-undangan yang berkarakter Omnibus Law secara pasti memiliki landasan hukumnya.(faz/iss)