Undang-Undang Cipta Kerja mengatur bahwa pekerja atau buruh tetap mempunyai hak mendapatkan pesangon.
Hal ini disampaikan Supratman Andi Agtas Ketua Badan Legislasi DPR RI menjawab soal polemik pesangon yang dikeluhkan oleh para pekerja atau buruh.
“Pemerintah memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hal dan dapat diterima oleh pekerja atau buruh,” ujar Supratman kepada suarasurabaya.net, Selasa (6/10/2020).
Menurut Supratman, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah skema baru terkait dengan jaminan ketenagakerjaan yang tidak mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnya seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.
Kata dia, JKP tidak menambah beban bagi pekerja atau buruh.
“Program JKP selain memberikan manfaat cash benefit, juga memberikan manfaat lainnya yaitu peningkatan skill dan keahlian melalui pelatihan (up grading dan up skilling) serta akses informasi ketenagakerjaan,” jelasnya.
Supratman mengatakan, selama ini besaran besaran di atur sebesar 32 kali gaji namun pada pelaksanaannya hanya 7% perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan, sehingga tidak ada kepastian mengenai besaran besaran yang diterima oleh pekerja.
Jumlah besaran pesangon yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara negara lain menimbulkan keengganan investor untuk beriinvestasi di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan.
“Dalam UU Cipta Kerja, jumlah maksimal pesangon menjadi 25 kali dengan pembagian 19 kali ditanggung oleh pemberi kerja atau pelaku usaha dan enam kali atau case benefit diberikan melalui program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang dikelola oleh pemerintah melalui BPJS ketenagakerjaan,” kata dia.
Untuk persyaratan PHK, kata Supratman, tetap mengikuti ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. (faz/ang)