Pembatasan kebebasan individu dalam menanggulangi Covid-19 tidak bisa dikualifikasikan melanggar HAM, ini mencuat pada webinar Fakultas Hukum Universitas Surabaya (FH Ubaya), kupas kebijakan hukum Internasional di tengah pandemi Covid-19.
Webinar yang diikuti 187 perguruan tinggi dari berbagai daerah di Indonesia kali ini memilih tema: Penanganan Covid-19 dalam Perspektif Hukum Internasional, digelar oleh tim dosen Laboratorium Hukum Internasional Universitas Surabaya (Ubaya).
Tiga pakar hukum Ubaya hadir sebagai pembicara, Suhariwanto, S.H., M.Hum, Dr. J.M. Atik Krustiyati, S.H., M.S., dan Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., L.LM., L.LM., dan dipandu langsung Muhammad Insan Tarigan, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Ubaya.
Suhariwanto, S.H., M.Hum., Ketua Laboratorium Hukum Internasional Ubaya sekaligus dosen Fakultas Hukum Ubaya menyampaikan materi tentang implementasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam penanggulangan Covid-19.
Sekedar penegasan, bahwa DUHAM merupakan norma dan dasar pijakan hukum Internasional yang telah disepakati oleh seluruh anggota yang ada di dalam organisasi internasional PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Sesuai kesepakatan tersebut maka setiap pembentukan norma hukum Internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral dalam implementasinya harus sejalan dan sejiwa dengan DUHAM. Materi muatan yang diatur dalam DUHAM dapat dikelompokkan menjadi political right, social, economic, cultural, and religion right, dan right to development.
“Dalam hukum dikenal dengan asas Solus Populi Suprema Lex Esto yang berarti kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Adanya asas ini memberikan ruang bagi negara atau lembaga Internasional untuk menafsirkan materi muatan DUHAM dan disesuaikan dalam rangka menangani kondisi pandemi Covid-19,” terang Suhariwanto.
Bahwa ada dua ketentuan pasal DUHAM yaitu pasal 25 ayat (1) dan pasal 30 terkait kebebasan individu yang perlu ditafsirkan secara bijak oleh masyarakat. Ketentuan tersebut mengacu pada upaya WHO (World Health Organization) melakukan penanggulangan Covid-19 secara preventif maupun represif.
Upaya preventif yang dianjurkan untuk dilakukan negara anggota PBB adalah social distancing, physical distancing, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), dan menyambut era new normal. Sedangkan upaya represifnya yaitu mengobati pasien terjangkit Covid-19 dan melakukan isolasi diri.
“Kehadiran PBB atau WHO dan negara anggota PBB, yang melakukan tindakan mengarah pada pembatasan terhadap kebebasan individu untuk menanggulangi Covid-19 tidak bisa dikualifikasikan melanggar DUHAM. Namun, justru dipandang sebagai pemenuhan hak individu dan wujud konkret nilai-nilai yang diatur dalam DUHAM,” tegas Suhariwanto.
Pemateri selanjutnya Dr. J.M. Atik Krustiyati, S.H., M.S., Ketua Prodi Magister Kenotariatan Ubaya sekaligus dosen Fakultas Hukum Ubaya mengungkapkan materi mengenai good neighbour policy sebagai upaya penanganan pandemi Covid-19.
Hukum Internasional sebagai kaidah memiliki peran penting dalam hubungan kerjasama Internasional bagi suatu negara. Hukum Internasional dapat dimanfaatkan untuk ikut dalam kebijakan negara lain, menekan negara berkembang untuk mengikuti negara maju, negara berkembang menutup pasar bagi negara maju, dan adanya kepentingan negara maju dalam hal ekonomi, humanitarian, maupun environment.
Pada kondisi pandemi Covid-19, hukum Internasional dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan negara bertetangga.
“Jangan sampai negara dimanfaatkan oleh hukum Internasional tetapi kita harus bisa memanfaatkan hukum tersebut. Kebijakan negara bertetangga harus memegang prinsip kerjasama serta pemenuhan kewajiban karena suatu negara memiliki kedudukan yang setara dan harus saling menguntungkan dalam menanggulangi Covid-19,” ujar Atik Krustiyati.
Pemateri penutup adalah Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., L.LM., L.LM., dosen sekaligus Wakil Dekan II Fakultas Hukum Ubaya, menyebut bahwa keresahan masyarakat mengenai persoalan permintaan ganti rugi oleh negara-negara kepada China terkait dengan menyebarnya Covid-19.
Wisnu Aryo Dewanto menuturkan jika sebelum meminta pertanggungjawaban dari negara maka harus dibuktikan terlebih dahulu dimana letak pelanggaran hukum yang telah dibuat.
“Fakta yang dikumpulkan apakah termasuk dalam internationally wrongful acts? Kemudian termasuk kedalam wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Kemudian, kita harus pikirkan kemana harus minta ganti rugi. Apakah melalui saluran hukum atau non hukum? Kalau sampai saat ini saya masih ragu dan kemungkinan sulit untuk dilakukan ganti rugi kecuali memang ada itikad baik,” pungkas Wisnu Aryo Dewanto, Rabu (3/6/2020).(tok/rst)