Jumat, 22 November 2024

Pelepasan Narapidana di Masa Pandemi Covid-19 Dikupas FH Ubaya di Webinar

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Webinar mengupas kebijakan pelepasan narapidana ditengah pandemi Covid-19 digelar Ubaya. Foto: Humas Ubaya

Webinar bertema Pelepasan Narapidana Di Masa Pandemi Covid-19, Jumat (22/5/2020) digelar KSM Pidana FH Ubaya, menyikapi kebijakan pelepasan narapidana di negeri ini di tengah pandemi Covid-19.

Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) gelar diskusi Webinar bahas kebijakan pelepasan narapidana di tengah Covid-19, dengan nara sumber Michelle Kristina, S.H., M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) dengan tema: Pelepasan Narapidana Di Masa Pandemic Covid-19.

Masyarakat sempat diresahkan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM tentang pembebasan narapidana untuk menekan angka penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan.

Kebijakan tersebut dibuat dengan harapan agar tidak terjadi cluster baru di masyarakat. Namun, pelepasan narapidana di tengah Covid-19 dianggap tidak efektif dan menimbulkan permasalahan baru. Bagaimana sejatinya kebijakan itu ditinjau dari perspektif hukum.

Michelle Kristina, S.H., M.Kn., Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Ubaya menjelaskan tentang landasan dalam pelepasan narapidana di masa Covid-19. Setidaknya ada 3 landasan kebijakan itu, yaitu: landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Jika dilihat berdasarkan landasan filosofis maka peraturan dikeluarkan berkaitan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Saat ini kondisi lapas dan LPKA di Indonesia memiliki tingkat hunian yang sangat tinggi atau over capacity sehingga dianggap rentan terhadap penyebaran dan penularan Covid-19. Oleh sebab itu, sebagai upaya penyelamatan narapidana dan anak yang ada di lapas maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut.

Sedangkan landasan yuridis menekankan pada aspek hukum yang penting bagi masyarakat. Tanpa keberadaan hukum tidak akan terwujud masyarakat yang tertib dan harmonis. Berdasarkan landasan yuridis, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 10 Tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi para narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.

“Program asimilasi tersebut tidak diberikan kepada narapidana yang termasuk dalam kategori terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM berat, kejahatan transnasional, dan Warga Negara Asing (WNA). Sebenarnya program asimilasi dari dulu sudah ada, narapidana yang dilepaskan harus memenuhi syarat dan ketentuan berperilaku baik. Bedanya, saat ini mereka dilepaskan di masa pandemi,” terang Michelle Kristina.

Dari landasan sosiologis, tambah Michelle bahwa sebanyak kurang lebih 30.000 hingga 35.000 narapidana dan anak dibebaskan untuk mengurangi over capacity dan menekan munculnya penyebaran Covid-19.

Keputusan ini di respon oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dengan mengajukan gugatan kepada Kementerian Hukum dan HAM jika kebijakan dinilai tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Indonesia.

Kebijakan tersebut dapat menimbulkan masalah baru dan meningkatnya kriminalitas di masyarakat saat pandemi. Beberapa laporan kasus tercatat adanya pengulangan tindakan kriminal yang dilakukan oleh narapidana hasil program tersebut. Namun, Kementerian Hukum dan HAM mengklaim hanya sebagian kecil saja dari narapidana program asimilasi Covid-19 yang berulah jika dibandingkan dengan jumlah yang bebas.

Motif kriminalitas dapat terjadi karena beberapa hal yaitu melihat adanya peluang hukum membuat narapidana dapat dengan mudah kembali melakukan kejahatannya.

Selanjutnya, adanya motif tertentu yang mendorong untuk melakukan tidakan kriminalitas seperti faktor kebutuhan ekonomi di masa pandemi. Terakhir, kriminalitas dapat terjadi jika narapidana program asimilasi tidak diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga terpaksa bergabung lagi dengan lingkungannya yang lama.

“Hukum itu menjadi payung bagi ketertiban masyarakat. Jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran Covid-19 di lapas maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan ini begitu saja setelah narapidana bebas. Pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat maupun narapidana. Sehingga tidak akan terjadi masalah dan pengulangan tindakan kejahatan di tengah pandemi,” lanjut Michelle.

Puluhan mahasiswa dan sejumlah dosen Fakultas Hukum Ubaya yang mengikuti webinar tersebut menanggapi kebijakan tersebut, misalnya Dr. Suhartati, S.H., M.Hum., bahwa kebijakan pelepasan narapidana juga telah dilakukan oleh negara lain.

Tetapi, kunci yang harus diingat oleh pemerintah adalah terus melakukan monitoring dan pengawasan untuk memastikan kondisi narapidana yang sudah keluar dan berada di masyarakat.

Sedangkan Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M., menyampaikan bahwa masyarakat menjadi resah karena kurangnya transparansi pemerintah terkait kriteria narapidana yang dikeluarkan serta jumlah yang begitu banyak dilepaskan.

Selama ini Badan Pemasyarakatan (Bapas) sebetulnya kesulitan untuk melakukan proses pembinaan selama program asimilasi kepada narapidana agar bisa diterima kembali oleh masyarakat.

“Jika negara lain dan mungkin bisa dijadikan contoh di Indonesia agar narapidana punya kesempatan diterima di masyarakat adalah mari memberdayakan mereka untuk kegiatan yang positif di tengah pandemi. Contohnya adalah memberikan tempat tinggal bagi mereka, bukan di lapas, banyak tempat yang lain bisa dijadikan hunian seperti wisma atau rumah susun. Disana mereka bisa diberdayakan untuk membuat masker, APD, atau kebutuhan lain sehingga mengurangi tindakan pengulangan kriminalitas. Mereka juga diajarkan keterampilan sehingga bisa diterima kembali di masyarakat,” pungkas Elfina Lebrine Sahetapy.(tok/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs