Penetapan Juliari Peter Batubara (JPB) sebagai tersangka dalam kasus korupsi bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek 2020, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kembali ancaman pidana mati kepada pelaku korupsi di masa pandemi.
Iqbal Felesiano Pakar Hukum Pidana dari Universitas Airlangga mengatakan, pelaku korupsi bisa saja terbebas dari jeratan hukuman mati, kalau jaksa mengenakan pasal suap atau pasal-pasal lain dalam kasus Juliari, bukan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 2009.
Dalam pasal 2 ayat 1 berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Jika pelaku terbukti bersalah seperti yang tertera di ayat 1 serta terjadi dalam kondisi tertentu seperti bencana, maka hukuman mati bisa dikenakan sebagai pemberat seperti pasal 2 ayat 2 yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Sehingga menurut Iqbal, para tersangka kasus korupsi dana bansos Covid-19 bisa terancam hukuman mati jika terbukti korupsi yang mereka lakukan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Jika penyidik dapat membuktikan kerugian negara yang ditimbulkan atas seseorang, ya pasal 2 dapat diterapkan. Kalau belum ditemukan kerugian negara, tapi lebih ke tindakan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, maka bisa pasal suap yang dikenakan,” kata Iqbal kepada Radio Suara Surabaya, Senin (7/12/2020).
Sebagaimana dalam bab Penjelasan di UU tersebut, “keadaan tertentu” yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 2 bisa seperti bencana alam nasional atau krisis moneter: “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Kata “keadaan tertentu” yang tertera dalam pasal 2 ayat 2 diatas, menurut Iqbal merupakan pemberatan hukuman, mengingat bencana alam nasional maupun krisis ekonomi merupakan situasi sulit yang berdampak langsung ke masyarakat. Dan pemberatan itu, lanjutnya, tidak menilai besar kecilnya nilai yang dikorupsi.
“Prinsipnya, pemberatannya kan seperti kok nemene (kok parah sekali) pas orang-orang kesusahan membutuhkan bantuan malah dicuri barangnya. Pas orang kesusuahan dikorupsi kan kebacut pol (keterlaluan sekali), makanya diberi pemberatan di pasal 2 ayat 2, jadi bukan tergantung besaran nilai korupsinya,” jelasnya.
Iqbal berharap, aparat penegak hukum dapat menjatuhkan hukuman setimpal dengan apa yang dilakukan para koruptor yang mencuri hak rakyat di masa sulit seperti pandemi Covid-19. Ia menilai, kasus ini juga menjadi shock therapy bagi para pejabat lain agar tidak main-main dalam kondisi sulit seperti sekarang.
“Kita tahu lah banyak hal yang diberi special treatment pada kondisi saat ini. Tapi kalau memang dikorupsi, sudah seharusnya diberikan hukuman dengan efek jera yang betul-betul kuat. Masyarakat sampai nggak bisa makan, mereka malah makan uang-uang itu kan kebacut, cek nemene, parah. Kalau saya pribadi ingin pemberatan itu diterapkan sesuai proporsi tindakannya,” ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap kasus ini dapat diusut hingga tuntas, tidak hanya berhenti di kelima orang yang saat ini sudah berstatus tersangka.
“Artinya, apakah menteri ini menikmati (hasil korupsi) sendiri atau aliran dananya mengalir ke yang lain? Untuk menuntaskan korupsi tidak saja menembak yang melakukan, tapi mata rantai harus diputus tuntas sampai akhir,” ujarnya.
Seperti yang diketahui, Juliari Peter Batubara (JPB) Menteri Sosial sebagai tersangka penerima suap terkait Program Bantuan Sosial (Bansos) Pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020, Minggu (6/12/2020) dini hari, bersama Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono Pejabat Pembuat Komitmen di Kemensos sebagai tersangka penerima suap, serta Ardian IM dan Harry Sidabuke pihak swasta sebagai tersangka pemberi suap.
Pada malam harinya, Juliari Batubara mengundurkan diri sebagai Menteri Sosial. Dengan mengenakan rompi jingga tahanan KPK, Juliari mengatakan ia akan mengikuti proses hukum yang berlaku. (tin/ang/rst)