Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menyoroti Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dianggap tidak memiliki sinkronisasi antara judul UU dan isi yang dicakup. Wachid Habibullah Direktur LBH Surabaya mengatakan, dalam peraturan perundang-undangan, sebuah UU harus memilih satu perihal sektor yang diatur di dalam peraturan tersebut. Ia mengatakan, banyak hal diatur dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang baginya tidak berhubungan dengan lapangan kerja itu sendiri.
“Di peraturan perundang-undangan, kalau kita belajar di fakultas hukum, itu sebenarnya gak nyambung. UU ini kan dibuat harus ada tentangnya. Sektor apa yang diatur. Yang diatur ini cipta lapangan kerja. Tapi judulnya tidak sinkron dengan isinya. Lha mengatur ke mana-ke mana. Dia juga mengatur perizinan, administrasi pemerintahan, otonomi daerah, pengadaan tanah lahan dan sebagainya. Apa hubungannya dengan lapangan kerja. Sistem yang baru tapi terkesan dipaksakan,” ujar Wachid saat menggelar konferensi pers di Kantor LBH Surabaya pada Jumat (17/1/2020).
Ia juga menuding, UU Omnibus Law ini sebagai sebuah penyelundupan berbagai aturan dari 74 UU yang sudah ada yang nantinya akan direvisi sesuai keingin pemerintah. Padahal, untuk mengesahkan satu UU saja bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.
“Ini semacam modus penyelundupan, yang akan kacau kalau dipaksakan. Bikin satu UU saja bisa bertahun-tahun. Ini 74 UU diganti secara bersamaan dan dicakup bersamaan. Masyarakat harus paham dan harus clear,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menganggap Omnibus Law secara umum adalah barang baru di Indonesia yang aneh dalam hukum negara yang menganut civil law. UU semacam ini biasa diterapkan di negara-negara yang menganut common law seperti Inggris. Ia menduga ada dua motif pemerintah di balik Omnibus Law. Pertama, Joko Widodo Presiden mengeluhkan banyaknya aturan di Indonesia dan kedua pemerintah tidak ingin disibukkan dengan aturan-aturan tersebut. Bagi Wachid, banyaknya UU memang menjadi konsekuensi logis dari negara yang menganut Civil Law.
“Akan makin banyak terjadi keruwetan hukum di situ. Kita lihat, UU 13 yang nanti direvisii oleh Omnibus Law. Terus UU 13 (UU nomor 13 tahun 2003, red) ini yang katanya beberapa pasal dihapuskan, hasilnya gimana. (UU ketenagakerjaan, red) dicabut keseluruhan kah, berlaku sebagiankah, atau seperti apa? Termasuk dengan 73 UU lainnya yang diatur di Omnibus Law ini,” katanya.
Kritik mengenai Omnibus Law sebelumnya juga disampaikan oleh beberapa pakar hukum di Indonesia. Salah satunya Prof. Maria Farida Indrati Mantan Ketua MK. Ia mengatakan, Omnibus Law memang lebih lazim diterapkan di negara yang menganut common law bukan civil law seperti Indonesia. Ia juga menegaskan, menyisir 74 UU untuk dijadikan satu bukan perkara mudah. Ia meragukan DPR dan pemerintah mampu menyelesaikan hal ini dalam 5 tahun ke depan. (bas/iss/ipg)