Seluruh rangkaian persembahyangan Nyepi 1942, yang sudah dilaksanakan umat Hindu di tengah pandemi Covid 19, dengan berbagai kesederhanaannya, diakhiri dengan upacara atau sembahyang Ngembak Geni.
“Kemudian umat saling mengucapkan syukur kepada sesama, didalam pura usai persembahyangan. Tetapi terkait himbauan pemerintah dengan adanya Covid 19, maka kami hanya beberapa orang saja yang hadir di pura, kemudian saling mengucapkan selamat dan rasa syukur,” terang I Wayan Suraba Ketua PHDI Kota Surabaya, Jumat (27/3/2020).
Ngembak Geni digelar sebagai ungkapan syukur pada alam semesta dan kepada Tuhan karena seluruh umat diberikan kesmepatan untuk melewati Catur Brata Penyepian yang sudah dilakukan setelah pelaksanaan Melasti, dan Tawur Agung.
Pelaksanaan seluruh rangkaian persembahyangan dalam rangka Nyepi 1942, di Kota Surabaya memang dilakukan pada kondisi ketika virus corona menyebar dan menjadi pandemi di Indonesia.
Upacara yang seharusnya melibatkan seluruh umat Hindu, pada pelaksanaannya di Kota Surabaya harus dibatasi, lantaran larangan atau himbauan pemerintah untuk tidak berkumpul dan menjalankan social distancing maupun physically distancing.
Umat Hindu diminta untuk menjalankan persembahyangan di rumah saja, dan hanya beberapa orang yang hadir di pura untuk mengikuti upacara Melasti maupun Tawur Agung. “Kami mematuhi himbauan pemerintah untuk tidak berkumpul dan menjalankan social distancing,” kata I Wayan Suraba.
Di kota Surabaya, lanjut I Wayan Suraba, persembahyangan Melasti maupun Tawur Agung memang dipusatkan di pura agung Jagat Karana. Tidak lebih dari 15 orang yang diperbolehkan hadir di dalam pura untuk mengikuti persembahyangan demi memutus penyebaran virus corona.
“Kami tetap menyelenggarakan persembahyangan tetapi dengan diikuti tidak banyak umat. Kami mematuhi himbauan pemerintah. Dan kami sudah sampaikan kepada umat terkait dengan pelaksanaan persembahyangan dan larangan berkumpul. Umat mematuhi dan memahami,” tegas I Wayan Suraba.(tok/rst)