“Saya menyadari saya berangkat bukan dari siapa-siapa. Tinggal di asrama polisi, anak dari enam bersaudara, saya harus masuk akademi kepolisian supaya adik-adik saya bisa sekolah.”
Inspektur Jenderal Purnawirawan Machfud Arifin, S.H mantan Kapolda Jawa Timur mengisahkan bagaimana dia harus berjuang untuk mencapai karir gemilangnya di Polri.
Pria kelahiran Ketintang, Surabaya, 6 September 1960 silam itu adalah anak ketiga dari enam bersaudara yang harus mengalah dalam hal pendidikan demi adik-adiknya.
“Saya menyadari saya berangkat bukan dari siapa-siapa. Tinggal di asrama polisi, anak dari enam bersaudara, saya harus masuk akademi kepolisian supaya adik-adik saya bisa sekolah,” katanya.
Sebagai anak ketiga dari enam bersaudara, di masa kecilnya dia dihadapkan pilihan sulit. Kalau dia melanjutkan kuliah, adik-adiknya mungkin tidak bisa melanjutkan sekolah.
Putra anggota kepolisian itu pun memilih untuk masuk akademi kepolisian yang saat itu memang tanpa biaya.
“Jadi bagi saya enggak ada pilihan lain waktu itu, harus masuk sekolah yang gratis. Akpol. Seandainya saya kuliah mungkin adik saya tidak bisa kuliah,” ujarnya.
Tapi justru lewat pilihan itu, karir kepolisiannya cerah. Dia mengakhiri karirnya dengan pangkat Inspektur Jenderal dan tiga kali menjabat Kepala Kepolisian Daerah.
Dia pernah memimpin Polda Maluku Utara, Polda Kalimantan Selatan, dan terakhir Kepolisian Daerah Jawa Timur, yang merupakan Polda terbesar di Indonesia Timur.
Kepada suarasurabaya.net di kediamannya, di Jalan WR Supratman, Surabaya, purnawirawan perwira polisi itu mengisahkan bagaimana kehidupan masa kecilnya yang serba susah.
“Rasanya kami dulu hidup juga susah. Kami mengalami yang namanya makan gaplek (singkong yang dikeringkan). Sekolah cekeran (telanjang kaki). Sekolah waktu itu juga pakai sabak,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, di masa pensiunnya sebagai perwira kepolisian, dia menyadari ternyata masih banyak masyarakat Surabaya yang lebih sengsara dari kehidupannya dulu.
“Ternyata Suroboyo pada posisi sekarang saya lihat masih banyak orang yang lebih sengsara. Banyak yang hidup di gang-gang sempit. Banyak juga yang hidup dengan MCK (mandi-cuci-kakus) yang tidak layak,” katanya.
Dia mengaku melihat sendiri fenomena itu, misalnya di kawasan Marmoyo, juga di kawasan Joyoboyo. Padahal, kawasan itu bukan berada di pinggiran Kota Surabaya.
“Ini tidak pada pinggiran kota tapi di tengah jantung kota. Prihatin saya. Jalannya sempit. Satu rumah bisa tiga KK (kepala keluarga). Padahal Surabaya ini sudah 720 tahun dan Indonesia sudah 75 tahun merdeka,” ujarnya.
Sebab itulah, di masa pensiunnya ini, dia ingin berbuat lebih banyak untuk Kota Kelahirannya lewat berbagai kegiatan yang dia dedikasikan untuk masyarakat Kota Surabaya.(den)