Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat kebebasan berpendapat dan berekspresi secara langsung maupun di dalam ruang siber terbatasi, seperti dalam penyampaian keberatan atas pengesahan undang-undang yang dinilai kontroversial.
“Kami mencatat persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi, tidak saja kepada individu atau kelompok, tetapi juga terjadi di ruang-ruang akademik,” kata Ahmad Taufan Damanik Ketua Komnas HAM, seperti dilansir Antara, Kamis (22/10/2020).
Dalam aksi tolak UU Cipta Kerja sejak 5 Oktober 2020, Polri mencatat lebih dari 5.198 orang ditangkap.
Sedangkan terkait dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sampai dengan April 2020, menurut data Safe-Net, sebanyak 209 orang menjadi korban dari UU ITE karena ketentuan dalam UU ITE yang bisa menjerat pihak yang menyampaikan pendapat dan ekspresi.
Yang terbaru disebutnya terjadi pada aktivis KAMI yang dijerat dengan UU ITE, karena dituduh memprovokasi masyarakat dan menyebarkan hoaks terkait dengan RUU Cipta Kerja.
Selain itu, berdasarkan laporan Komnas HAM RI dan Litbang Kompas pada Agustus 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, sebanyak 36 persen responden menyatakan ketakutannya dalam menyampaikan pendapat dan ekspresi melalui internet.
Menurut dia, hal itu mencerminkan ranah digital belum memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.
Untuk itu, Komnas HAM RI menyerukan agar setiap perbedaan pendapat disikapi secara bijak dengan membuka dialog yang setara dan transparan, sebagai bagian dari kedewasaan berdemokrasi.
Penindakan berlebihan, apalagi mempidanakan kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi dinilai tidak perlu dilakukan, karena berpotensi memberangus perbedaan pendapat dan demokrasi.
“Semestinya di alam demokrasi yang sudah kita nikmati lebih dari 20 tahun setelah 1998 -1999 ini, kebebasan berekspresi dan berpendapat sudah bisa berkembang lebih dari apa yang dulu kita alami di awal-awal sistem reformasi,” kata Ahmad Taufan Damanik. (ant/dfn/ipg)