Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong Kabupaten Tulungagung menjadi daerah destinasi wisata perikanan yang terintegrasi dengan pengembangan pengelolaan komoditas ikan patin.
“Saya usul desa di Tulungagung ini jadi desa wisata untuk khusus patin. Jadi mulai dari indukan, usaha pembenihan, usaha pembesaran, usaha pakannya secara mandiri, usaha pengolahan, dan usaha kuliner, semuanya kita rangkai menjadi satu kesatuan,” kata Sjarief Widjaja Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), dilansir Antara, Sabtu (26/9/2020).
Sjarief menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan panen Patin Perkasa (Patin Super Karya Anak Bangsa), Kamis (24/9/2020), di Tulungagung, secara daring.
Selain itu, Sjarief juga mengusulkan untuk dilakukan harmonisasi tanam, yakni pengaturan waktu dalam melakukan penebaran benih. Dengan demikian, ke depannya tidak terjadi penebaran benih dan panen dalam waktu yang bersamaan.
“Jadi antar satu kawasan kita pisahkan tanam setiap dua minggu sekali misalkan. Maka kita bisa mengharapkan setiap kawasan akan panen dua minggu sekali. Kalau sudah jadi maka keseluruhan kebutuhan patin Tulungagung akan terpenuhi dengan seperti itu,” katanya.
Menurut dia, hal tersebut bisa membuat harga menjadi lebih stabil, serta diharapkan dapat menjadi semacam model ekonomi untuk desa ini dan menjadi contoh bagi yang lain.
Sebagai informasi, Patin Perkasa merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Balai Riset Pemuliaan Ikan (BRPI) Sukamandi, Subang, Jawa Barat, di mana salah satu lokasi riset berada di Tulungagung.
“Berbeda dengan patin biasa, Patin Perkasa memiliki bebagai keunggulan,” kata Evi Tahapari Peneliti BRPI.
Ia mengungkapkan, berbagai keunggulan tersebut antara lain tingkat pertumbuhan lebih cepat 16,61-46,42 persen; produktivitas lebih tinggi 11,27–46,41 persen, dan rasio konversi pakan lebih rendah 5,6-16,3 persen.
Keunggulan lainnya adalah Harga Pokok Produksi (HPP) lebih rendah 4,45–17,92 persen; serta B/C ratio pembesaran lebih tinggi 14,71-48,48 persen.
Menurut Evi Tahapari, sebelum tahun 2010, perkembangan patin sangat heterogen di Indonesia, serta terjadi pertumbuhan yang berbeda-beda di berbagai lokasi di Indonesia.
“Seiring dengan perkembangan patin di Indonesia, masyarakat yang sudah bisa melakukan pemijahan sendiri menjadi tidak terkendalikan. Akibatnya terjadi penurunan genetik dan sejak pertama patin masuk ke Indonesia Tahun 1972 belum ada upaya untuk memperbaiki genetik tersebut,” paparnya.
Untuk itu, ujar dia, pada 2010-2017, tim penelitian melakukan seleksi ikan patin, dengan benih yang berasal dari Sukamandi, Jambi, dan Palembang, sebanyak dua generasi.
Hasilnya, masih menurut Evi, sangat bagus, yakni respon seleksi menunjukkan angka 38,86 persen, sudah memenuhi persyaratan respon seleksi minimal 30 persen.
Ia mengemukakan, hasil uji lapangan ikan patin di empat lokasi, yaitu Tulungagung, Kuningan, Bandar Lampung, dan Sukamandi, ternyata memberikan berbagai keunggulan dibanding patin biasa yang selama ini terdapat di masyarakat. (ant/ang)