Lonjakan pasien Covid-19 yang memenuhi cukup banyak rumah sakit di Jatim belakangan ini, menurut Suko Widodo Ketua Pusat Pengembangan Media dan Kehumasan (PPMK) Unair, tidak lepas dari proses komunikasi.
Menurutnya, saat ini proses komunikasi tentang pentingnya kedisiplinan protokol kesehatan dalam mencegah penyebaran Covid-19 dari pemerintah ke masyarakat sudah terputus. Dengan demikian masyarakat menjadi abai.
Sebenarnya, kata Suko, kedisiplinan masyarakat soal protokol kesehatan itu tergolong tinggi. Itu terlihat dari hasil survei PPMK Unair mengenai Adaptasi Perilaku Sosial New Normal pada Masyarakat Jawa Timur.
“Kami melakukan survei di Jatim dengan tiga lokasi. Yakni di Surabaya, Madiun, dan Jember. Respondennya ada sekitar 494 orang. Hasilnya memang, kita itu sebetulnya sikap untuk disiplin itu tinggi,” katanya.
Suko yang menjadi ketua tim penelitian itu menyatakan, sayangnya tingginya kedisiplinan itu tidak terfasilitasi oleh infrastruktur yang memadai. Baik dalam konteks secara fisik maupun secara sosial budaya.
“Jadi misalnya begini. Beberapa orang melepas masker itu ketika bertemu kawan saat cangkrukan. Atau saat mantenan. Karena untuk menghormati. Jadi, masyarakat ini tidak bisa move on dengan kultur itu. Ini riil,” ujarnya.
Karena itu, Suko mengaku sepakat dengan apa yang disarankan oleh Windhu Purnomo Pakar Epidemiologi FKM Unair bahwa Jawa Timur perlu menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan istilah.
“Saya setuju PSBB dengan wajah lain. Tapi sebetulnya, tindakan disiplin bukan sekadar dengan melakukan operasi yustisi. Tapi juga menyediakan infrastruktur komunikasi hukumnya,” katanya.
Dia mencontohkan, pemprov perlu secara intensif melakukan sosialisasi 3M ini dengan memasang spanduk atau media lain di sepanjang jalan tol, misalnya. Tapi kali ini harus dijauhkan dari wajah Wali Kota atau Gubernur.
“Lakukan ini secara seragam dan terkomando. Bentuk komunikasi koersif (sistem komunikasi yang menggunakan paksaan dan kekerasan) ini membantu jalan tengah untuk membentuk bangunan disiplin itu,” ujarnya.
Tujuannya, kata Suko, solidaritas masyarakat. Agar masyarakat sadar untuk saling mengisolasi diri demi menjaga satu sama lain. Karena dia menilai, tagline Kampung Tangguh atau Jogo Jawa Timur selama ini tidak efektif.
Tagline demikian, yang menurut Suko, membuat masyarakat mengalami overload communication (informasi berlebih). Pada kondisi demikian, masyarakat tidak mendapat pengetahuan memadai, sehingga jadi tidak disiplin.
“Akhirnya, komunikasi soal Covid-19 (dari pemerintah) tidak lebih dari guyonan-guyonan Covid-19 akibat komunikasi yang tidak dilakukan dengan baik. Yakni dengan memilih pesan yang tepat dan media yang tepat,” ujarnya.
Dia juga mengkritik penindakan oleh petugas yang sifatnya momentum dan acak. Itu membuat peraturan hanya jalan pada mereka yang melek huruf. Yang lain acuh. Bukan karena tidak mau tapi tidak ada yang membimbing.
Dia pun menyarankan agar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 juga melibatkan tokoh lokal. Baik Lurah, Dukun, kiai, juga beberapa orang yang punya kedekatan lebih riil ke masyarakat.
“Mereka diajak bicara, baru dilaksanakan protapnya. Nah, Protap (protokol kesehatan) yang dilaksanakan (harusnya) juga yang berbasis kultural. Jadi mereka (masyarakat) perlu didekati dengan cara seperti itu,” ujarnya.
Suko mengakui, di sejumlah tempat akan sulit untuk mengajak masyarakat tidak melakukan kegiatan tatap muka tanpa jaga jarak. Salah satunya di daerah Mataraman yang kental dengan budaya Selamatan atau Kendurian.
“Pengen doa bareng dilarang. Itu memang harus pelan-pelan dilakukan dan harus intensif. Terutama di daerah rural (perdesaan). Di Pacitan, Madiun, Ponorogo itu saya lihat mereka itu bebas. Kalau diingatkan malah marah,” katanya.
Sebab itu, kata Suko, yang perlu dilibatkan tidak hanya aparat TNI atau polisi. Atau mungkin Satpol-PP setempat. Tetapi juga tokoh masyarakat lokal setempat. Supaya pendekatan secara kultural mengenai prokes bisa dilakukan.
“Dalam teori komunikasi itu ada tiga tipologi. Pertama informatif dengan edukasi. Kedua identifikasi. Baru yang ketiga koersif (ancaman). Nah ini kita (Jatim) baru level pertama, informatif, dan itu gagal,” katanya.
Karena itu, kata dia, pemerintah, tokoh masyarakat, dan pihak terkait lain perlu bersinergi menerapkan tipologi kedua dan ketiga. Dengan identifikasi cara komunikasi alternatif dan melakukan tekanan secara serentak.
“Tidakkah misalnya, Jatim itu menyatakan: ‘Mari Kita Dua Minggu Menyepi.’ Atau ‘tertib protokol kesehatan.’ Kalau itu serentak berjalan pasti bagus. Tetap aja bekerja, tapi harus disiplin. Jadi perusahaan bisa tenang,” ujarnya.
Suko pada akhirnya menyarankan, Satgas Covid-19 Pemprov Jatim bisa bekerja sama dengan media mainstrem. Dengan demikian ada kesamaan pesan yang tersampaikan kepada masyarakat.
“Itu pemanduan opini. Sebaliknya, orang akhirnya akan abai ketika terjadi komunikasi yang terhenti seperti sekarang ini. Akibatnya pasien di rumah sakit menumpuk. Di madiun, puskesmas jadi RS sudah dapat lemparan,” ujarnya.
Pada intinya, supaya ada kata putus terhadap Covid-19 di Jawa Timur, harus ada reorientasi komunikasi dan kinerja penanganan Covid-19 di Bumi Majapahit ini. (den/ang/ipg)