Dokter Windhu Purnomo Epidemiolog Ketua Tim Advokasi dan Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair mengatakan, Jatim masih punya pekerjaan rumah menurunkan angka kematian Covid-19.
Saat ini, berdasarkan data resmi Satgas Covid-19 Jatim pada Jumat (6/11/2020), angka kematian (case fatality rate/CFR) di Jatim mencapai 7,16 persen dari total kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Angka ini dua kali lipat angka nasional.
Jumlah kasus terkonfirmasi di Jatim hari ini 54.080 kasus. Jumlah pasien terkonfirmasi yang meninggal 3.870 orang. Secara nasional jumlah terkonfirmasi 429.574 kasus, jumlah meninggal 14.442 orang atau setara 3,36 persen.
“Ini bukan gambaran baik. Ini yang harus dikejar. Di Surabaya misalnya, kasus kematiannya berkontribusi cukup besar. Jatim itu hampir 7,2 persen, Surabaya itu 7,3 persen,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Jumat (6/11/2020).
Jumlah kematian yang masih tinggi di Jatim ini, kata Windhu, cukup mengherankan. Sebab, jumlah kasus aktif harian di Jatim sebenarnya sudah landai. Seharusnya, rumah sakit sudah tidak terbebani lagi dengan pasien membludak.
Sampai 29 Oktober 2020 lalu, tingkat okupansi tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) ruang isolasi rumah sakit rujukan Covid-19 di Jatim hanya 42 persen. Masih di bawah standar WHO yang 60 persen.
“Jadi kasus aktif memany cenderung turun yang sembuh meningkat, maka seharusnya rumah sakit tidak terbebani. Tetapi kenapa kematian masih tinggi?” Katanya. Menurutnya ada sejumlah faktor.
Faktor utama, menurut Windhu, ada pada masyarakat yang belum melindungi anggota keluarga, tetangga, atau orang di sekitar mereka yang rentan tertular atau berpotensi memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
“Keluarga yang sudah sepuh masih diajak ke mal, diajak liburan atau pulang kampung. Atau masih di-tamoni (didatangi atau dikunjungi tamu), bertemu orang lain sehingga akhirnya tertular,” katanya.
Dokter Makhyan Jibril Juru Bicara Satgas Covid-19 Jatim mengakui, tingkat kematian di Jatim memang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani bersama baik oleh Satgas Covid-19 Jatim maupun masyarakat.
Dia juga mengatakan, faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat kematian akibat Covid-19 di Jatim ini juga cukup beragam. Salah satunya kecenderungan masyarakat yang tidak segera memeriksakan diri ketika terpapar.
“Masyarakat itu ketika terpapar sudah lebih dulu takut. Tidak segera periksa ke dokter. Begitu ditangani, kondisinya sudah bisa dikatakan hipoksia atau sudah kekurangan oksigen atau masuk kategori berat,” ujarnya.
Selain itu, berdasarkan data Satgas Covid-19, tingkat kematian di Jatim sebanyak 91 persen disertai penyakit penyerta seperti jantung, diabetes dan lain sebagainya. Menurut Jibril, fenomena kematian itu seperti Russian Roulette.
“Russian Roulette itu, yang kena satu tapi sembilan lainnya bisa jadi OTG. Nah salah satunya yang kena kalau disertai komorbid akhirnya gejalanya menjadi berat,” katanya. (den/ang/iss)