Jumat, 22 November 2024

Guru Besar Unair: Kasus Bu Yaidah Bukti Keangkuhan Birokrasi Masih Langgeng

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Profesor Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga. Foto: Unair

Profesor Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) menilai kasus Yaidah warga Surabaya yang sampai ke Kemendagri demi mengurus Akta Kematian anaknya, menjadi tamparan keras bagi birokrasi Pemkot Surabaya. Kasus ini mempertontonkan bagaimana birokrasi itu angkuh dan berjarak dengan masyarakat yang harus dilayani.

“Menurut saya problemnya adalah birokrasi itu angkuh dan berjarak dengan masyarakat yang harusnya dilayani,” ujar Bagong dikonfirmasi suarasurabaya.net, Jumat (23/10/2020).

Menurut Bagong, akar masalah dalam kasus ini soal sumber daya manusia di birokrasi itu. Karena meskipun mekanisme pelayanan itu sudah dipermudah via online, tapi tetap membutuhkan sumber daya manusia yang konsisten mendukung kemudahan layanan itu.

“Itu tidak terjadi dalam kasus Ibu Yaidah. Kasus Yaidah ini pelajaran berharga. Bayangkan kalau orang itu bukan Ibu Yaidah yang berani ke Jakarta. Kalau orangnya hanya mampu menunggu kan bisa gak dapat asuransi. Di sini butuh empati. Birokrasi kita terlalu kaku,” kata Bagong.

Makanya, kata Bagong ini bukan sekadar soal birokrasi dan mekanismenya yang sudah dipermudah dengan sistem online. Tapi ini persoalan orang-orang yang ada itu punya hati atau tidak.

“Keperpihakannya dimana? Kata kuncinya punya empati atau tidak pada warga yang dilayani?” kata Bagong.

Bagong menilai, kasus Ibu Yaidah sampai berangkat ke Jakarta ke Kemendagri, sebetulnya menyengsarakan masyarakat. Hal-hal yang bisa diselesaikan di tingkat bawah, di Kelurahan dan Dispenduk ternyata tidak.

“Ini sebetulnya pelajaran pahit. Pelajaran berharga untuk pemkot mengevaluasi pelayanan publiknya itu. Soal mekanismenya sudah diakomodasi secara sistem yang baik atau tidak itu, kalau orangnya tidak ya percuma. Sebetulnya ini cermin kalau birokrasi itu angkuh,” katanya.

Menurut Bagong, kasus semacam yang dialami Ibu Yaidah ini menjadi pertaruhan kualitas birokrasi di negeri ini. Masyarakat bisa terus tidak percaya kepada birokrasi yang menangani pelayanan publik, meski kampanye pelayanan prima terus digaungkan.

“Reputasi birokrasi dipertaruhkan, orang bisa enggak percaya. Mau dikampanyekan pelayanan publik prima ya percuma, karena prakteknya tidak. Prima dan tidaknya pelayanan tergantung aparat melakukan kesigapan melakukan diskresi,” katanya.

Sebelumnya, Sebelumnya, Yaidah (51) warga Perumahan Lembah Harapan, Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri mengeluhkan ruwetnya pelayanan mengurus Akta Kematian anaknya di Dispendukcapil Kota Surabaya. Yaidah nekat berangkat ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, karena deadline klaim asuransi hanya 60 hari. (bid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
26o
Kurs