Khofifah Indar Parawansa Gubernur bilang, Jatim cukup menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) yang menurutnya sudah cukup menekan penambahan kasus Covid-19.
Belakangan ini dia juga sering menyatakan sejumlah capaian positif di Jatim seperti jumlah ketersediaan ruang isolasi di rumah sakit dan tingkat kesembuhan pasien Covid-19.
Dokter Windhu Purnomo Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya mengakui itu. Dalam dua hal itu Jatim lebih baik dari daerah lain di Indonesia.
Tapi berdasarkan kriteria epidemiologis, masih banyak hal yang perlu dibenahi di Jawa Timur. Windhu pun menyatakan, pemerintah di Bumi Majapahit ini juga perlu menerapkan PSBB seperti Jakarta.
“Pertanyaan ini harusnya ditanyakan kemarin-kemarin. Kita sudah membiarkan pergerakan (orang) ini bebas. Berapa bulan Jatim ini tidak ada PSBB? Padahal dulu Surabaya Raya menghentikan PSBB di tengah kasus yang masih meningkat. Itu enggak bener,” ujarnya.
Windhu sebagai pakar di kesehatan masyarakat mengaku sudah seringkali mempresentasikan kondisi Covid-19 di Jatim, dalam berbagai kesempatan, kepada gubernur, bupati, juga wali kota.
“Tapi, ya, enggak digubris. Kondisi epidemiologi yang masih tidak terkendali diabaikan karena mementingkan ekonomi. ‘Kasihan warga saya enggak bisa makan.’ Lho, itu kan tanggungjawab pemerintah. Ya kasih bantuan dong,” ujarnya.
Windhu yang memimpin kajian epidemiologi Covid-19 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya memaparkan sejumlah fakta tentang kondisi di Jatim.
Setidaknya ada empat alasan, kenapa Jawa Timur perlu menerapkan PSBB sebagaimana Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta kembali mengambil kebijakan PSBB secara ketat untuk memutus rantai penularan Covid-19.
1. Rate of Transmission (RT/Angka Reproduksi Efektif)
Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur sendiri beberapa waktu lalu sempat menyatakan, angka reproduksi efektif penularan Covid-19 di Jatim lebih mengkhawatirkan dari sebelumnya.
Satu orang yang terkonfirmasi Covid-19 di Jatim bisa menularkan virus SARS CoV-2 terhadap 10 orang lain yang ada di lingkungan mereka. Windhu membenarkan, kondisi penularan di Jatim memang masih naik turun.
Berdasarkan data terakhir kasus harian dari Dinas Kesehatan Provinsi Jatim per tanggal 25 Agustus lalu, dia mencontohkan Rate of Transmission (RT) di Surabaya.
Dia akui selama enam hari sampai 25 Agustus itu, RT di Surabaya berada di angka di bawah satu. Menurutnya, baru kali itu RT di Surabaya bertahan di angka di bawah satu selama enam hari berturut.
“Ini data yang dianilisis baru sampai 25 Agustus. Karena tanggal 26-29 relatif belum lengkap. RT surabaya di bawah 1 selama enam hari berturut-turut. Kami belum tahu setelahnya. Angka reproduksi efektif itu baru dibilang baik kalau sudah di bawah angka satu selama 14 hari berturut-turut. Jadi, belum bisa kami sebut terkendali,” ujarnya.
2. Positivity Rate (Tingkat Penularan)
Angka reproduksi efektif penularan Covid-19 atau yang biasa disebut dengan akronim RT itu, kata Windha, hanyalah satu dari sejumlah kriteria epidemiologis yang digunakan oleh pemerintah.
Menurutnya, Kementerian Kesehatan RI bahkan memiliki 24 kriteria penentu status atau kondisi Covid-19 di suatu daerah. Berbeda dengan kriteria dari Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
“Kalau Satgas Pusat itu pakai 14 plus 1 kriteria. Plus satu itu RT tadi. Jadi masih ada 14 lainnya yang harus dipertimbangan. Salah satunya soal ketersediaan tempat tidur rumah sakit. Jatim relatif bagus. DKI sudah melebihi batas. Sudah kurang,” katanya.
Hal lain yang perlu diperbaiki di Jawa Timur adalah Positivity Rate atau tingkat positif dibandingkan jumlah orang yang dites. Menurutnya dalam hal ini Jatim masih buruk.
“Dari jumlah total warga yang dites (tes usap/swab Covid-19) di Jawa Timur, yang positif masih di atas 20 persen. Padahal kita harusnya paling tinggi 5 persen,” ujar Windhu.
3. Case Fatality Rate (CFR/Tingkat Kematian)
Selain tingkat positif penularan atau positivity rate, satu hal yang sangat menonjol dan menurut Windhu perlu segera diatasi adalah tingkat kematian (rate of fatality/CFR) akibat Covid-19 di Jawa Timur yang masih sangat tinggi.
Angka kematian akibat Covid-19 di Jatim mencapai lebih dari 7 persen. Padahal, sesuai standar dari WHO, CFR maksimal sebuah wilayah seharusnya maksimal hanya 2 persen.
“Itu (CFR Jatim) jauh di atas angka nasional. Nasional ini sudah turun menjadi hanya 4 koma sekian persen. DKI Jakarta malah lebih bagus dalam menekan kematian dari nasional. Kalau kasusnya, memang DKI Jakarta tinggi banget,” ujarnya.
4. Testing Rate (Tingkat Pengetesan)
Windhu mengakui, tingkat kesembuhan di Jawa Timur sudah lumayan dibandingkan daerah lain di Indonesia. Sudah lebih dari 70 persen. Tapi masih ada hal lain yang perlu diperhatikan.
Testing rate atau tingkat pengetesan terhadap masyarakat di Jawa Timur, kata Windhu, belum memenuhi standar jumlah penduduk yang ada. Di Jatim, testing rate ini menurutnya rendah.
“Standarnya, dalam sehari seharusnya ada 5.700 orang yang menjalani tes (usap/swab). Di Jatim, kadang-kadang 4 ribu, kadang-kadang di bawah 4 ribu per hari. Masih kurang,” ujarnya.
Windhu mengatakan, seharusnya Jawa Timur, terutama tiga wilayah yang biasa disebut Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik) yang jadi episentrum penularan Covid-19 di Jatim tidak terburu-buru melepas PSBB.
Gubernur DKI Jakarta telah resmi menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar secara ketat (bukan PSBB masa transisi new normal). Windhu menyarankan, sebaiknya Jatim juga.
Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim seharusnya mengikuti langkah yang diambil Anies Baswedan. Sebab, kata Windhu, warga Jawa Timur dan DKI Jakarta masih satu kesatuan Epidemiologi di Pulau Jawa.
“Orang berpindah di Jawa ini, kan, gampang banget. Saya misalnya, mau ke Jakarta, perjalanan sekarang cuma 8-9 jam, naik tol. Iya, kan?” Ujarnya. “Pergerakan orang ini yang harus dikunci.”
Penerapan pembatasan sosial untuk memutus mata rantai Covid-19 menurutnya tidak bisa dilakukan secara parsial. DKI Jakarta, pasca-PSBB sudah membaik, masuk lagi dari daerah lainnya.
“Ketularan lagi nanti DKI itu, karena daerah lain tidak ada PSBB. Podo ae seperti pingpong aja enggak selesai-selesai. Mestinya satu pulau ini Jawa dan Madura paling tidak, karena memang nyambung,” katanya.
Windhu mengingatkan, sudah enam bulan kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat tanpa ada kejelasan kapan puncaknya? Negara lain, dalam dua-tiga bulan pembatasan ketat, sudah bisa selesai.
“Karena pemerintah di negara lain menerapkan pembatasan orang ini secara ketat. Yang penting itu pergerakan orang. Virus dibawa orang, tidak mungkin terbang sendiri. Jadi pemerintah yang harusnya pegang kontrol,” ujarnya.
Kebijakan yang disarankan Windhu itu adalah apa yang disebut Karantina Wilayah dalam Undang-Undang Kekarantianaan Kesehatan yang memang tidak dipilih oleh Pemerintah Indonesia.
Menurutnya, bila kebijakan itu diambil, dalam waktu setidaknya dua sampai tiga bulan, penularan akan terkendali. Setelah itu, ekonomi akan kembali meningkat. Dia yakin masyarakat bisa bersabar.
“Orang yang pekerjaannya harian, ya, harus diurusi oleh pemerintah. Kalau tidak, mereka akan tetap keluar mencari makan. Pengusaha bisa mengikat pinggang kencang-kencang. Toh selama ini mereka sudah untung bertahun-tahun. Sementara ini dua-tiga bulanlah, ikat pinggangnya dikencangkan, setelah itu baru bisa normal,” ujarnya.(den/lim)