Reni Astuti Wakil Ketua DPRD Surabaya mengatakan, masalah pengurusan Akta Kematian yang dialami Yaidah (51 tahun) Warga Lembah Harapan, Lidah Wetan, menyiratkan bahwa mitigasi layanan publik tidak sigap.
Sebenarnya, kata Reni, selama ini Pemkot Surabaya sudah berkomitmen memberikan pelayanan prima terkait pelayanan publik. Terbukti dalam beberapa kesempatan Pemkot Surabaya mendapatkan penghargaan.
“Salah satunya, kita (Surabaya) sudah punya Mal Pelayanan Publik. Sistem online terkait layanan publik juga sudah ada. Tetapi apa yang dialami Bu Yaidah saya kira memukul kita semua. Surabaya dengan keunggulan layanan publiknya tenyata persoalannya seperti ini,” ujarnya.
Kepada suarasurabaya.net, Sabtu (24/10/2020), Reni menjelaskan, apa yang dialami Yaidah menunjukkan bahwa ada yang tidak disiapkan oleh Pemkot Surabaya dalam hal pelayanan publik di tengah pandemi Covid-19.
“Pemkot Surabaya itu siap dalam kondisi normal tapi tidak siap dalam kondisi tidak normal. Ketika kondisi Pandemi seharusnya ada mitigasi layanan yang sigap. Kasus Bu Yaidah menunjukkan sebaliknya,” ujarnya.
Dalam kondisi normal, pengurusan Akta Kematian sebenarnya bisa selesai di tingkat kelurahan. Karena di setiap kelurahan sudah ada e-kios yang terkoneksi dengan kecamatan dan Dispendukcapil Kota Surabaya.
“Jadi sejak di kelurahan itu, petugas sudah bisa mengentri data pemohon sehingga langsung terkoneksi ke kecamatan lalu terkoneksi di Dispenduk. Nah di Dispenduk diproses. Itu semua sudah ada sebetulnya,” ujar Reni.
Namun, menurutnya, di tengah situasi Pandemi Covid-19 yang mengubah banyak perilaku dan kebiasaan masyarakat, Pemkot Surabaya perlu menyiapkan mitigasi pelayanan publik yang maksimal.
Pandemi Covid-19, kata Reni, adalah bencana. Setiap ada bencana harus ada langkah mitigasi untuk menghadapi berbagai hal yang diakibatkan oleh bencana. Salah satunya, akibat pandemi, sejumlah kelurahan juga Dispendukcapil sempat lockdown karena pegawainya ada yang tertular.
Dalam situasi seperti itu, Pemkot Surabaya setidaknya sudah menyiapkan langkah-langkah kemudahan dengan memprioritaskan layanan tertentu yang memang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Surabaya.
“Pemkot kan tahu, di masa pandemi orang yang meninggal itu banyak. Terakhir aku lihat angkanya sekitar 1.130-an. Artinya teman-teman di Pemkot harusnya tahu apa layanan yang paling dibutuhkan dan disegerakan,” ujarnya.
Dengan munculnya kasus Yaidah, hal itu menunjukkan bahwa ada pelayanan publik yang tidak terprioritaskan, tidak terperhatikan, dan dilayani dengan model normal. Padahal yang dibutuhkan adalah model pelayanan pandemi.
“Sistem ini ya tidak disiapkan Pemkot. Mitigasi layanan tidak sigap. Karena saya sendiri juga menemukan kasus yang mirip. Ada keluarga nakes (tenaga kesehatan) yang perlu mengurus akta kematian prosesnya juga lama,” ujarnya.
Kasus yang dialami keluarga Nakes itu, istri dokter yang meninggal berupaya mengurus akta kematian untuk memenuhi persyaratan bantuan untuk Nakes dari Kementerian Kesehatan. Istri dokter itu harus menunggu lama.
“Menunggu tidak ada informasi dan sebagainya. Di sini terlihat koordinasi internal Pemkot, baik antarkelurahan dengan dinas terkait sepertinya perlu diperkuat. Saya kira kasus Bu Yaidah ini menjadi catatan penting, jangan sampai terjadi lagi,” katanya.
Reni meminta Pemkot Surabaya menjadikan kasus Yaidah ini sebagai introspeksi pelayanan publik, tidak hanya Akta Kematian, di tengah pandemi. Mitigasi semua pelayanan yang dibutuhkan publik lain seperti perizinan dan KTP, harus lebih jelas.
“Kami ikut miris dengan apa yang dikisahkan oleh Bu Yaidah. Siapapun yang mengikuti kisah Bu Yaidah pasti ikut sedih. Saya rasa persoalan ini tidak bisa selesai hanya dengan menyalahkan petugas. Tidak cukup itu. Tetapi menurut saya perlu perbaikan sistem.(den/iss)