Jumat, 22 November 2024

Dokter Forensik RSUD dr. Soetomo Jelaskan Alur Pemulasaraan Jenazah Covid-19

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
dr Galih Endradita Staf Forensik RSUD dr. Soetomo saat on air di Radio Suara Surabaya dalam program Wawasan, Sabtu (18/4/2020). Foto: Tina suarasurabaya.net

Tim Forensik RSUD dr. Soetomo Surabaya menegaskan, bahwa protokol pemulasaraan jenazah positif Covid-19 sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) atau protokol kesehatan yang ditetapkan.

dr. Galih Endradita Staf Forensik RSUD dr. Soetomo mengatakan, di Indonesia sendiri memiliki beberapa aturan tentang protokol penanganan jenazah, yakni yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). RSUD dr. Soetomo sendiri menerapkan protokol penanganan yang dikeluarkan Kemendagri, karena dianggap lebih spesifik dibanding protokol lainnya yang sifatnya lebih umum.

“Kalau dari Kemendagri itu lebih spesifik. Masih dibuka kesempatan untuk memandikan jenazah, layanan rumah duka masih bisa, dimakamkan secara umum oleh masyarakat dan diawasi oleh petugas masih bisa, itu protokol yang dibuat di RSUD dr. Soetomo dan itu sesuai dengan protokol dari Perhimpunan Dokter Forensik. Cuma kalau penanganannya pakai APD,” kata dr. Galih saat talkshow di Program Wawasan Radio Suara Surabaya, Sabtu (18/4/2020).

Ia menjelaskan, setelah pasien Covid-19 dinyatakan meninggal, jenazah langsung dilakukan disinfeksi untuk membunuh virus yang menempel di tubuh jenazah. Setelah itu, jenazah langsung ditutup dengan kantong dan langsung dibawa ke pemakaman.

Sedangkan proses memandikan jenazah dilakukan sesuai permintaan pihak keluarga.

“Dimandikan atau tidak sesuai permintaan keluarga. Kalau minta disucikan, ya, kita sucikan,” ujarnya.

dr. Galih mengatakan, Alat Pelindung Diri (APD) memiliki 3 level, dengan level tertinggi adalah menggunakan APD full coverage. Sedangkan tim forensik biasanya menggunakan APD level 2, yakni memakai masker, penutup kepala, pelindung baju depan dan sarung tangan.

“Kami pemulasaraan jenazah itu cukup APD level 2, masker, penutup kepala, pelindung baju depan dan sarung tangan. Tidak harus yang seperti astronot itu,” ujarnya.

Namun jika pasien yang meninggal bukan disebabkan Covid-19, maka alur pemulasaraannya dilakukan seperti biasa.

dr. Galih menegaskan, masyarakat dapat meminta keterangan diagnosa dokter terhadap pasien sebelum meninggal. Terlebih jika pasien meninggal bukan karena Covid-19 tetapi menemui kesulitan dalam proses pemakaman.

Ia mengatakan, nantinya dokter akan memberikan keterangan diagnosa apakah jenazah sebelumnya terjangkit penyakit menular atau tidak. Namun dalam surat keterangan tersebut, dokter tidak bisa memberikan keterangan yang berbunyi positif tidaknya terjangkit Covid-19, sebelum dilakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

“Jadi sudah kewajiban dokter yang merawat menjelaskan diagnosa perawatan, bukan Cause of Death, itu kalau sudah diotopsi. Nanti surat keterangannya berbunyi meninggal karena penyakit menular atau tidak menular. Kalau (berbunyi) Covid-19 tidaknya, ya, harus tes PCR,” paparnya.

Pemulasaraan hingga pemakaman jenazah Covid-19 yang hanya diurus beberapa orang, lanjut dr. Galih, bukan karena takut virus dari jenazah menular, tapi mengkhawatirkan penularan dari masyarakat yang bergerombol atau berkerumun saat prosesi pemakaman.

“Yang kita khawatirkan itu bukan jenazahnya, tapi berkumpulnya para pelayat dalam jumlah yang besar dan tidak menerapkan physical distancing dan itu jadi sarana penularan, bukan dari jenazahnya,” ujarnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs