Herlin Ferliana Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur (Jatim) mengeklaim, jajaran dinasnya sampai ke tingkat daerah di Jawa Timur tetap menggalakkan imunisasi di tengah pandemi Covid-19.
Terutama imunisasi polio, surveilans Acut Flaccid Paralysis (AFP), dan pemeriksaan laboratorium polio terhadap anak-anak. Herlin bilang, target imunisasi polio atau vaksinasi 2020 adalah 79,17 persen.
Dari target itu, data per 31 Oktober 2020 mencatat bahwa imunisasi polio jenis OPV1 pada usia anak 0-1 bulan mencapai 82,54 persen. Cakupan imunisasi OPV2 untuk usia 2 bulan mencapai 82,17 persen.
Selanjutnya, untuk imunisasi polio jenis OPV3 usia 3 bulan mencapai 81,16 persen dan OPV4 anak usia 4 bulan mencapai 79,79 persen. Sedangkan cakupan IPV dilakukan bersamaan dengan OPV4 mencapai 30,33 persen.
“Artinya meskipun dalam keadaan pandemi dan pembatasan jarak fisik kami masih tetap prioritaskan imunisasi polio pada anak,” ujar Herlin.
Dia jelaskan, virus polio mempunyai tiga strain mutasi. Antara lain polio tipe 1, 2, dan 3. Virus polio, kata Herlin, rata-rata menyerang anak berusia di bawah 15 tahun.
Gejalanya demam lebih dari 38 derajat celcius, batuk, pilek, myalgia, dan sebagainya. Berikutnya, polio berpotensi menyebabkan kelumpuhan yang bersifat layuh (lunglai).
Herlin juga menjelaskan, masa inkubasi poliomeylitis yang dialami penderita antara tiga hari sampai dengan enam hari.
“Organ tubuh yang paling rentan virus ini adalah alat gerak, yaitu tangan dan kaki. Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian akibat polio memang sangat rendah, 2-5 persen. Namun dampaknya (bisa sampai lumpuh) bersifat permanen,” katanya.
Herlin pun berharap, semua pihak agar terlibat dalam edukasi mengenai pentingnya imunisasi polio bagi anak. Tidak hanya pada cakupan OPV1 saja tapi harus lengkap sampai IPV.
Meski kasus polio sudah jarang ditemui di Jatim, Herlin bilang, ancaman itu masih ada. Dia ingatkan, pada 2005 lalu ada 45 kasus polio di Jatim, tepatnya di Madura. Bahkan saat itu menjadi KLB nasional dengan total 302 kasus.
“Segera laporkan ke puskesmas bila menemukan keluarga atau tetangga anak usia kurang dari 15 tahun yang mendadak lumpuh agar puskesmas menindaklanjuti dengan verifikasi ke lapangan,” kata dia.
Sebelumnya, Ismoedijanto pakar infeksi dan pediatrik tropis Fakultas Kedokteran Unair Surabaya mewanti-wanti bahaya yang muncul akibat rendahnya capaian imunisasi di tengah pandemi Covid-19.
Menurutnya, capaian imunisasi harus terus digenjot, meski di tengah pandemi, untuk menghindari risiko terjadinya kejadian luar biasa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (KLB PD3I).
Ismoedijanto bilang, tidak bisa dimungkiri akan terjadi penurunan cakupan imunisasi rutin lengkap (IRL) di tingkat regional maupun nasional selama masa pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Dia ingatkan itu lagi bahwa capaian imunisasi tahun lalu (sebelum pandemi) sudah bisa dibilang rendah, yakni hanya 60-70 persen. Kalau cakupannya terus rendah, ada kemungkinan terjadinya KLB wabah selain Covid-19.
“Jika orang tua takut, cakupan imunisasi semakin rendah dan bahaya penyakit-penyakit PD3I sangat memungkinkan terjadi,” ujarnya.
Ismoedijanto bilang, WHO sudah memberikan panduan untuk kegiatan imunisasi pada saat pandemi Covid-19 yang bisa dilakukan sesuai kebijakan lokal daerah dan harus diukur dengan data-data.
Karena bayi muda sangat rentan terhadap penyakit infeksi yang berbahaya seperti hepatitis B, polio, difteria, pertussis, dan tetanus.
“Sehingga jika tidak imunisasi kemungkinan untuk terkena penyakit tersebut tinggi, karena sistem imun bayi tidak cukup kuat menghadapinya,” ujar Ismoedijanto.(den)