Digital dengan berbagai bentuknya saat ini telah menjadi sebuah budaya baru, dan diterima masyarakat. Itu mencuat dari pidato ilmiah Guguh Sujatmiko, S.T., M.Ds., Dosen Ubaya, Rabu (11/3/2020).
Pada pidato ilmiahnya berjudul Hiperealitas Visual dalam Realitas Virtual, Guguh Sujatmiko, S.T., M.Ds., Dosen Fakultas Industri Kreatif Universitas Surabaya (Ubaya) menyebut bahwa digital saat ini menjadi budaya baru ditengah masyarakat.
Pada umumnya, orang sangat familiar dengan bentuk-bentuk representasi, replika, dan penggambaran ulang. Satu diantara contoh bentuk yang dapat di temui adalah foto diri sendiri.
“Foto merupakan representasi dari diri kita yang hidup, asli, ideal, dan nyata. Namun, foto bukan diri kita sebenarnya. Foto hanya ikon yaitu tanda yang dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan,” terang Guguh.
Tanda yang ada dibuat agar serupa atau mirip dengan sumber acuannya secara visual. Hal ini dijelaskan dengan adanya karakter tokoh virtual dari Jepang yang menikah dengan manusia dan karakter tokoh anak kecil yang hidup kembali dari alam kematian sehingga dapat bertemu dengan keluarganya yang masih hidup di dunia nyata.
Fenomena tersebut mampu membentuk realitas palsu. Kedua tokoh karakter ini hidup dan berinteraksi layaknya manusia seperti berbicara, menyapa, menjawab pertanyaan, bernyanyi, mengajak bermain, melompat, makan, dan kegiatan yang lain.
Tokoh karakter virtual ini nyata keberadaannya dan memiliki bentuk serta visual yang dapat dilihat secara utuh. Namun mereka semua tidak aktual tetapi dikonsumsi menjadi kenyataan. Realitas palsu ini mampu menyamar menjadi kenyataan hingga mencapai hiperealitas.
Guguh menjelaskan selama satu dekade, masyarakat dapat merasakan dan mengalami lompatan teknologi yang luar biasa. Kegiatan seperti berkenalan, menulis kabar, menggunggah video hingga menduplikasi diri secara virtual dapat dilakukan dengan mudah melalui sebuah media.
Media yang menjembatani hal aktual dalam dunia fisik dengan hal ideal dalam dunia energi yaitu handphone, personal computer, console, maupun Virtual Reality (VR). Informasi terkait peristiwa yang telah terjadi namun jaraknya jauh juga dapat diperoleh dengan adanya media sosial.
“Cyberspace secara bertahap mempengaruhi manusia. Melalui peralatan yang mudah dioperasikan, dinding komunikasi antar muka menipiskan jarak antara kata konkret dan virtual. Alat ini memiliki pengaruh yang besar akan terbentuknya budaya baru yaitu budaya digital atau budaya virtual,” papar Guguh.
Aktivitas pernikahan antara manusia dengan avatar atau hidupnya karakter tokoh virtual dari orang-orang yang sudah meninggal bisa menjadi hal yang biasa bahkan menjadi budaya digital yang natural, karena manusia menuntut kepuasan visual sehingga menjadi kebutuhan.
“Sesuatu yang baru (relearn) menjadi tuntutan yang harus diikuti dan tidak bisa dihindari. Virtual menjadi ruang lingkup baru untuk dapat dieksplorasi, sangat luas, nyata, dan dinamis. Kreativitas dalam memainkan tanda-tanda bisa menjadi kemungkinan-kemungkinan baru meninggalkan hal yang tidak relevan (unlearn),” tambah Guguh.
Sementara itu, Ir. Benny Lianto, MMBAT., Rektor Ubaya menyampaikan pada pidatonya bahwa di era disrupsi Ubaya sebagai lembaga pendidikan tinggi segera mempersiapkan diri dengan melakukan berbagai langkah adaptif dan antisipatif, melahirkan paradigma dan pola pikir baru, serta mencari cara baru.
“Bersamaan dengan perayaan Dies Natalis ke 52 ini menjadi momentum penting merenungkan dan merefleksikan peran strategisnya untuk selalu mengarahkan dan memastikan agar perkembangan teknologi memiliki dampak baik dan positif bagi pengguna maupun masyarakat luas,” pungkas Benny Lianto.
Rabu (11/3/2020) Universitas Surabaya (Ubaya) menggelar Rapat Terbuka Senat Universitas Surabaya dengan acara tunggal Dies Natalis ke 52 Universitas Surabaya (Ubaya) dan satu diantaranya adalah mendengarkan pidato ilmiah Guguh Sujatmiko, S.T., M.Ds., selaku Dosen Fakultas Industri Kreatif Ubaya.(tok/rst)