Jumat, 22 November 2024

Bubutan, Pusat Pergerakan Pelajar

Laporan oleh Chusnul Mubasyirin
Bagikan
Gedung Nasional Indonesia. Foto: Anton suarasurabaya.net

Anasir kepedulian terhadap nasib bangsa dan pembebasan rakyat dari penjajah di Surabaya, sudah muncul dibawa oleh Dr. Soetomo, jauh sebelum gaung kemerdekaan negeri ini dimaklumatkan. Sepak terjang Dr. Soetomo yang panjang itu bisa ditelusuri terutama di Gedung Nasional Indonesia (GNI), Jl. Bubutan 85-87, Bubutan, Surabaya.

Seperti kita ketahui, Dr. Soetomo Pahlawan Nasional ini lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Sepak terjangnya dimulai ketika ia membentuk organisasi Boedi Oetomo pada 1908 yang kemudian dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pergerakannya terus mengalir dan mendirikan Perhimpunan Pelajar (PPI) di Amsterdam (1919-1923). Lalu membentuk Indonesische Studie Club (ISC) Soerabaja (11 Juli 1924), yakni persatuan pelajar Hindia Belanda yang berusaha meningkatkan kesadaran politik warga pribumi mengenai situasi politik dalam dan luar negeri. Hingga kemudian pada pada 1930 berganti menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI).

Gedung Nasional Indonesia. Foto: Anton suarasurabaya.net

Suatu saat, Dr. Soetomo terbersit ide mendirikan Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Surabaya yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan rapat umum membahas berbagai persoalan bangsa. Ide itu berkali-kali gagal karena tekanan politik pemerintah Belanda.

Tapi, atas dukungan banyak koleganya, seperti RMH Soejono, RP Soenario Gondokoesoemo, R Soedjoto dan Achmad Djais serta sewa gedung sudah dibayarkan, akhirnya berhasil juga. Mula-mula PBI membentuk Yayasan Gedung Nasional Indonesia pada 21 Juni 1930. Notarisnya H.W.Hazenberg, kemudian disahkan oleh Road van Justitie dan Hoggerechten di Batavia.

Tanah untuk membangun GNI dibeli dari Tuan Ruthe dan Maxen seharga f.48.000 plus ongkos notaris dan biaya balik nama sebesar f.2000 sehingga total f.50.000. Padahal menurut rencana, pembangunan gedung itu menghabiskan biaya f.200.000. Lalu, ada sumbangan dana pribadi sang pendiri sebesar f.10.000.

Masih belum cukup sehingga mereka berusaha mencari dana lagi dengan mengadakan Pasar Derma Nasional di Kranggan yang cukup sukses menutup biaya.

Pembangunan itu disambut suka ria oleh masyarakat. Mereka juga ikut menyumbang bata merah, kapur, semen, pasir. Bahkan, anak-anak juga rela menyumbang dengan mengorbankan tabungan simpanannya di celengan.

Saat Pasar Derma digelar, para pendiri mengadakan pertunjukan dengan menampilkan Ludruk Cak Durasim. Mereka konon juga tidak meminta bayaran. Peletakan batu pertama GNI diresmikan pada 13 Juli 1930 oleh Kaum Isteri Indonesia di Bubutan, Surabaya.

Pada awal 1932, pembangunan GNI hampir selesai dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya Kongres Indonesia Raya I pada 1-3 Januari 1932. Acara itu dihadiri Ir. Soekarno setelah ia bebas dari penjara Sukamiskin (Desember 1931).

GNI juga pernah menjadi sarana pementasan kesenian berbau kritik politik, melalui penampilan Ludruk Cak Durasim.

Karena PBI masih bergerak di daerah, maka pada akhir 1935, Dr. Soetomo berusaha menyatukan PBI, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Ambon, Boedi Oetomo, dan lainnya menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) dengan mengedepankan semangat kebangsaan.

Ikon Wisata

Pendopo dan paviliun selatan GNI pernah hancur terkena mortir pada 29 November 1945. Gedung ini juga pernah ditinggalkan tanpa pemilik pada 1949, hingga menarik para pengurus baru untuk mengelolanya (Februari 1949 – September 1950).

Pengurus baru itu tidak lain anggota Parindra yang sudah kembali ke Surabaya. Beberapa pengurus lama GNI masih berada di pengungsian. Pendopo tetap difungsikan menjadi balai pertemuan umum dengan prioritas untuk persidangan dan pertunjukan kesenian.

Pada 1965, GNI mengalami renovasi. Hal itu dilakukan atas kehendak Ir. Soekarno presiden untuk mengapresiasi peran penting Dr. Soetomo.

Sejak 20 Maret 1945, pendopo GNI diperbaiki. Tak lama kemudian, pengelolaan GNI beserta harta kekayaannya diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya dan kemudian diresmikan menjadi museum pada 29 November 2017.

Makam Dr. Soetomo yang ada di area belakang Gedung Nasional Indonesia. Foto: Anton suarasurabaya.net

Museum Dr. Soetomo memiliki tiga zona; pertama di dalam gedung dengan dua lantai, kedua di sanggar, dan zona ketiga adalah makam Dr. Soetomo sendiri. Posisi makam berada tidak jauh dari zona kedua, sebelah barat sanggar.

Kecintaan Dr. Soetomo kepada perjuangan rakyat, antara lain seperti tertulis pada prasasti di samping makamnya yang berbunyi:

“Senantiasa berjuang kemuka jurusan kita, dengan tiada memperdulikan sendirian dan cela, bahkan tiada menyesali kehilangan dan keluarganya yang harus menderita dari barang-barang yang menyenangkan hidup kita sendiri.” (Dr. Soetomo, 11 Juli 1925). (cus/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs