Miftahul Ulum selaku eks asisten pribadi Imam Nahrawi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga dituntut 9 tahun penjara ditambah dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan. Karena dinilai terbukti menjadi operator lapangan aktif penerimaan suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.
“Menuntut supaya menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan terdakwa Miftahul Ulum terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 9 tahun dan pidana denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata Ronald Worotikan jaksa penuntut umum (JPU) KPK di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, seperti dilansir Antara, Kamis (4/6/2020).
Sidang dilakukan melalui sarana “video conference”, Miftahul Ulum berada di gedung KPK sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di pengadilan Tipikor Jakarta.
“Hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa telah menghambat perkembangan dan prestasi atlet Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang olahraga, terdakwa tidak kooperatif dan tidak terus terang dalam seluruh perbuatan yang dilakukannya, terdakwa memiliki peran yang sangat aktif dalam melakukan tindak pidana yang dilakukan. Hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan dalam persidangan, terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga,” tambah Ronald.
Tuntutan itu berdasarkan dua pasal dakwaan yaitu dakwaan pertama dari Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan dakwaan kedua dari Pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP
Dalam dakwaan pertama, Miftahul Ulum bersama-sama dengan Imam Nahrawi dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Ending Fuad Hamidy Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Johnny E Awuy Bendahara Umum KONI.
Tujuan pemberian suap itu adalah untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan Bantuan Dana Hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun kegiatan 2018.
Ulum merupakan orang kepercayaan merangkap supir Imam Nahrawi sejak 2011 saat Imam masih menjabat sebagai anggota DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 2009-2014. Saat Imam dilantik sebagai Menpora pada 27 Oktober 2014, Imam lalu mengangkat Ulum sebagai asisten pribadinya.
Imam lalu memperkenalkan Ulum kepada jajaran pejabat struktural Kemenpora sekaligus menyampaikan bila ada urusan atau ingin menghadap dirinya selaku Menpora agar berkoordinasi dulu dengan Ulum. Ulum dan istrinya juga tinggal di rumah dinas Menpora dimana istri Ulum menjadi asisten pribadi istri Imam Nahrawi yaitu Shobibah Rohmah.
Pada 2018, KONI Pusat mengajukan proposal bantuan dana hibah kepada Kemenpora RI dalam rangka pelaksanaan tugas Pengawasan dan Pendampingan Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional pada Asian Games ke-18 dan Asian Para Games ke-3 pada 2018 serta proposal dukungan KONI dalam rangka pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun kegiatan 2018.
Pada proposal pertama, KONI mengajukan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar. Untuk mempercepat pencairan dana hibah tersebut, Deputi IV Kemenpora Mulyana meminta Ending agar berkoordinasi dengan Miftahul Ulum terkait jumlah “fee” yang harus diberikan KONI Pusat kepada Kemenpora.
Ending lalu berkoordinasi dengan Ulum dan disepakati “fee” untuk Kemenpora sebesar 15-19 persen dari dana hibah yang diterima KONI Pusat. Ulum lalu memberikan catatan pihak-pihak Kemenpora termasuk Imam Nahrawi yang akan diberikan jatah uang di secarik tisu.
Sebagai realisasi kesepakatan tersebut, pada akhir Januari 2018 di kantor KONI PUsat, Ulum menerima sebagian “fee” sejumlah Rp500 juta dari Ending untuk Imam. Fee selanjutnya sejumlah Rp2 miliar diterima Ulum pada Maret 2018 dari Ending dalam 2 tas ransel hitam disaksikan Wakil Bendahara KONI Lina Nurhasanah dan supir Ending bernama Atam.
Pada 24 Mei 2018, KONI Pusat mendapat dana hibah sejumlah Rp30 miliar dari pengajuan Rp51,592 miliar. Dana hibah dicairkan secara bertahap yaitu tahap I sebesar 70 persen sejumlah Rp21 miliar pada 6 Juni 2018.
Atas pencairan dana tersebut, Jonny mengirimkan Rp10 miliar dan sesuai arahan Ending, uang Rp9 miliar diserahkan kepada Imam melalui Miftahul Ulum sejumlah Rp9 miliar yaitu sebesar Rp3 miliar diberikan Johnny kepada Arief Susanto selaku suruhan Ulum di kantor KONI Pusat; Rp3 miliar dalam bentuk 71.400 dolar AS dan 189.000 dolar Singapura diberikan Ending melalui Atam kepada Ulum di lapangan golf Senayan; dan Rp3 miliar dimasukkan ke amplop-amplop diberikan Ending ke Ulum di lapangan bulu tangkis Kemenpora RI.
Selain itu, Deputi IV Kemenpora RI Mulyana juga menerima “fee” sejumlah Rp300 juta dari Ending dan Johny di ruang kerjanya di Kemenpora serta 1 unit mobil Toyota Fortuner seharga Rp489,8 juta dari Ending.
Atas penerimaan ‘fee” tersebut, pada 8 November 2018 dilakukan pencairan dana tahap II sebesar 30 persen yaitu sejumlah Rp9 miliar.
Kedua, terkait proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berprestasi tahun 2018 dengan usulan dana Rp16,462 miliar dan diubah lagi menjadi Rp27,5 miliar.
Namun proposal yang diajukan oleh KONI tidak sesuai dengan ketentuan karena waktu pengajuan sudah akhir 2018 dan dana hibah akan dipergunakan untuk 2019 sehingga proposal pun akhirnya dibuat dengan tanggal mundur yaitu 10 Agustus 2018 dengan usulan dana Rp21,062 miliar.
Dalam rapat verifikasi Kemenpora disepakati dana hibah yang akan diberikan ke KONI adalah sejumlah Rp17,971 miliar.
Pada 13 Desember 2018, Ulum bertemu dengan Ending di ruangan Ulum dengan sepengetahuan Imam. Dalam pertemuan itu, Ulum kembali menulis rincian penerima “fee” di tisu lalu Ending memerintahkan Sekretaris bidang Perencanaan dan Anggaran KONI Suradi mengetik daftar rincian para penerima tersebut.
Dalam daftar tersebut tertulis inisial ‘M’ yaitu menteri sejumlah Rp1,5 miliar, ‘Ul’ yaitu Ulum sejumlah Rp500 juta, ‘Mly’ yaitu Mulyana sejumlah Rp400 juta, ‘AP’ yaitu Adhi Purnomo sejumlah Rp250 juta dan ‘Ek’ yaitu Eko Triyanta sejumlah Rp20 juta.
Namun “fee” bagian imam dan Ulum belum sempat diserahkan Ending dan Johnny karena pada 18 Desember 2018 Ending dan Johnny diamankan petugas KPK karena telah memberikan jatah ‘fee” kepada Mulyana sejumlah Rp100 juta dan 1 ponsel Samsung Galaxy Note 9 dan kepada Adhi Purnomo serta Eko Triyanta sejumlah Rp215 juta.
Selanjutnya dalam dakwaan kedua, Ulum bersama-sama Imam Nahrawi didakwa menerima gratifikasi senilai total Rp8,648 miliar yang berasal dari sejumlah pihak.
Pertama, penerimaan Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy. Uang itu diminta Ulum kepada Sekretaris Menpora pada 2015, Alfitra Salamm untuk membiayai kegiatan Muktamar NU di Jombang. Alfitralalu menghubungi Ending selaku Sekjen KONI Pusat dan menyepakati memberi uang sejumlah Rp300 juta untuk Imam.
Uang Rp300 juta diberikan pada 6 Agusuts 2015 di satu rumah di Jombang oleh Alfitra Salamm kepada Ulum di hadapan Imam.
Kedua, gratifikasi sebesar Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah.
Uang senilai total Rp4,948 miliar diberikan sebanyak 38 kali sejak 2015-2016 baik langsung diterima Ulum maupun melalui Sibli Nurjaman, Arief Susanto dan J Bambang yang digunakan antara lain untuk membayar tagihan kartu kredit Imam, perjalanan ke Melbourne, pembayaran tiket Masuk F1 rombongan Kemenpora pada 19-20 Maret 2016, membayar acara buka puasa, membayar tagihan pakaian Imam, hingga membayar tagihan kartu kredit Ulum.
Ketiga, penerimaan gratifikasi sejumlah Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah.
Jasa konstruksi itu digunakan oleh istri Imam, Shobibah Rohman untuk merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur, desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang, desain asrama untuk santri, pendopo dan lapangan bulu tangkis di tanah seluas 3.022 meter persegi di Cipedak, Jagakarsa.
Keempat, gratifikasi sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima 2016-2017. Uang diserahkan pada Agustus 2018 melalui bantuan pebulu tangkis Taufik Hidayat di rumah Taufik di Jalan Wijaya Kebayoran baru.
Kelima, gratifikasi sebesar Rp400 juta dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode tahun 2017-2018 Supriyono.
Pemberian uang itu dilakukan karena Imam meminta uang honor untuk kegiatan Satlak Prima kepada Mulyana, padahal Satlak Prima telah resmi dibubarkan pada Oktober 2017. Atas permintaan uang tersebut. Akhirnya disepakati untuk memberikan uang sejumlah Rp400 juta kepada Imam Nahrawi selaku penanggung jawab Satlak Prima.
Penyerahan uang dilakukan Supriyono pada 2018 kepada Miftahul Ulum di areal parkir Menpora di dekat Masjid yang ada di kompleks Kemenpora RI tanpa adanya tanda terima yang sah dengan disaksikan Mulyana.
“Bahwa penerimaan gratifikasi tersebut diberikan oleh orang-orang yang notabene memiliki hubungan pekerjaan atau merupakan bawahan (subordinate) dari Imam Nahrawi selaku Menpora dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan kewenangan yang dimiliki oleh Imam Nahrawi selaku Menpora untuk kepentingan operasional tambahan Imam Nahrawi,” tambah jaksa Ronald. (ant/ang/rst)