Achmad Yurianto Juru Bicara Pemerintah untuk Percepatan Penangan Covid-19 di Indonesia menegaskan, perlu ada fokus intervensi penanganan Covid-19 sejak prarumah sakit.
Dia sampaikan itu dalam seminar daring (webinar) bertajuk Dinamika Kebijakan Dalam penanganan Covid-19 yang digelar Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Airlangga (IKA UA) Surabaya, Senin (6/7/2020).
Saat ini, kata Yuri, penambahan kasus Covid-19 tidak merata di seluruh indonesia. Jatim masih termasuk daerah kasus terbanyak bersama DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, juga Kalimantan Selatan.
Belakangan ini, Kementerian Kesehatan juga mencatat, sudah lebih dari 15 provinsi di Indonesia yang penambahan jumlah kasus hariannya ada di bawah 10, bahkan ada yang sudah nol kasus.
Dia juga memaparkan, Kemenkes mencatat bahwa kasus konfirmasi yang ada ternyata tidak signifikan menambah jumlah pasien yang harus dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan data daring rumah sakit secara nasional, rata-rata okupansi tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) terisi 53,9 persen. Jatim sendiri, dari 5.837 tempat tidur yang tersedia, 4.214 sudah terisi.
Dia menyimpulkan, temuan penambahan kasus yang tidak terlalu mempengaruhi okupansi tempat tidur di rumah sakit ini adalah hasil tracing secara massif yang menurutnya sudah berjalan cukup efektif.
“Kalau kita perhatikan, sebagian besar adalah kasus dengan gejala minimal yang tidak perlu dirawat di rumah sakit, tapi butuh isolasi. Intervensi kelompok ini, bila tidak dilakukan, dapat menimbulkan penularan baru,” katanya.
Artinya, kata dia, permasalahan Covid-19 yang merupakan penyakit menular sebenarnya ada pada tataran prarumahsakit (prehospital). Di antaranya dalam hal promosi kesehatan dan pencegahan.
“Seharusnya manajemen intervensinya 70 persen prarumah sakit. Jadi bisa terlihat, panglimanya sebenarnya para epidemiolog dan promotor kesehatan. Baru yang 30 persen ada di rumah sakit. Karena ini penyakit menular yang bisa dicegah,” ujarnya.
Pentingnya kebijakan di bidang pencegahan penularan, kata Yuri, karena bila hanya menunggu pasien datang ke rumah sakit, menurutnya kapasitas sebesar apapun rumah sakit di suatu daerah akan tetap jebol.
“Jadi kita harus fokus, bagaimana yang sehat tidak sampai sakit. Bahwa yang sehat itu angkanya lebih tinggi dari yang sakit. Saya pikir ini juga menjadi komitmen kita, karena kementerian kesehatan berarti yang diurusi yang sehat. Dinkes juga begitu yang dirusi jangan orang yang sakit. Jadi dinas pesakitan nantinya,” katanya.
Sebab itulah, dia sampaikan, saat ini semua pihak yang seharusnya terlibat secara pentaheliks seperti permintaan Joko Widodo Presiden, perlu bekerja keras memenuhi 70 persen upaya penanganan prarumah sakit itu.
Yuri sempat menyingung tentang pemahaman yang menurutnya cukup menyesatkan, yang mana rapid test dipakai sebagai satu-satunya alat ukur untuk menyatakan seseorang terjangkit atau tidak terjangkit Covid-19.
“Padahal kita tahu, pemeriksaan rapid test ini pada pemeriksaan antibodi, dibutuhkan waktu dan false negatif itu ada. Ini yang kemudian harusnya kami tata, kami harap, para ekspert di prarumah sakit bisa memberi masukan terhadap penataan kebijakan yang lebih baik lagi,” ujarnya.
Dalam webinar itu, hadir sejumlah guru besar Universitas Airlangga. Di antaranya Prof Badri Munir Sukoco, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, juga Prof. Dr Mustain Mashud Guru Besar Ilmu Sosial dan Politik.
Tidak hanya itu, turut menjadi panelis dalam webinar yang dibuka oleh Prof Nasih Rektor, antara lain Dr Seger Handoyo Dosen Psikologi Unair, juga Dr Suko Widodo Dosen Komunikasi Unair.
Dalam prosesnya, masing-masing panelis itu memberikan masukan kepada pemerintah. Termasuk kepada Pemerintah Provinsi Jatim yang mana diwakili dr Joni Wahyuhadi sebagai Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Covid-19.
Seharusnya, webinar ini dijadwalkan akan diikuti oleh Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim juga Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya. Sayangnya, keduanya sedang berhalangan.
Khofifah, kata Joni yang ditunjuk mewakili Gubernur, sedang menghadiri Rapat Paripurna di DPRD Jatim. Sedangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut dari panitiap, kenapa Risma atau perwakilannya batal mengikuti webinar itu.(den/iss/ipg)