Sabtu, 23 November 2024

APTISI: Banyak Program Studi Tutup di Era Disrupsi dan Kemajuan Teknologi

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Pembukaan Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) ke-6 Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (29/1/2020) malam. Foto: Humas Pemprov Jatim

Budi Jamiko Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) mengakui, banyak program studi (prodi) di berbagai perguruan tinggi swasta (PTS) di seluruh Indonesia tutup, di tengah era disrupsi dan kemajuan teknologi saat ini.

Dia contohkan, tutupnya prodi sekretaris di 58 PTS, prodi perbankan di 90 PTS, dan prodi perjalanan wisata di 35 PTS. Menurutnya, tutupnya prodi ini karena pendaftarnya tidak ada serta kalah dengan aplikasi berbasis teknologi.

“Aplikasi seperti Traveloka, misalnya. Karena itu, APTISI harus bisa membuka pendidikan jarak jauh. Kalau tidak, akan kalah dengan perkembangan zaman, bahkan harus di-merger. Ini yang akan kami bahas,” ujarnya Rabu (29/1/2020).

Dia sampaikan ini dalam Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) ke-6 bertema “Membangun SDM Beriman, Bertaqwa, Berakhlak Mulia yang Inovatif dan Produktif di Era Digital,” di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (29/1/2020) malam.

Sebanyak 350 perwakilan APTISI Provinsi dari total 4.650 anggota pimpinan PTS dan yayasan di seluruh Indonesia hadir dalam acara ini. Sekadar diketahui, secara total prodi di seluruh PTS yang ada di Indonesia mencapai 25.600 prodi.

Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim yang hadir dan membuka RPPP ke-6 APTISI semalam menyatakan, di tengah disrupsi dan kemajuan teknologi ini, sangat sedikit yang membicarakan disrupsi mental dan karakter.

Padahal, baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin lebih dari 125 perusahaan teknologi finansial (tekfin/fintech) karena melakukan proses penipuan berbalut digitalisasi ekonomi, finansial teknologi, dan peer to peer.

Disrupsi mental dan karakter seperti itulah yang menurut Khofifah merugikan masyarakat Indonesia. Masyarakat selalu menjadi korban karena mereka sulit membedakan mana tekfin yang legal, mana yang ilegal.

“Jadi ini sebuah kondisi di lapangan yang sangat kontradiktif. Di satu sisi, kita ingin menanamkan iman, takwa, dan akhlak mulia berseiring dengan kemajuan teknologi, tetapi di sisi lain kita berada pada era post truth dan era disrupsi,” ujarnya.

Sebab itulah, kata dia, perlu penguatan tanggung jawab dan karakter para pelaku jasa keuangan supaya masyarakat tidak dirugikan. Tidak hanya OJK, semua pihak harus mengawalnya. Termasuk APTISI yang menurutnya punya peran besar.

“Literasi Finansial menjadi penting, termasuk teknologi finansial. Proses literasi itu harus berseiring dengan percepatan kemajuan teknologi digital yang luar biasa. Itu yang kami rekomendasikan dibahas di rapat pleno APTISI,” ujarnya.

Khofifah mencontohkan, bentuk kemajuan teknologi dan tren ekonomi digital bisa dilihat di Amerika Serikat, yang mana 43 persen anak muda di sana sudah masuk ke format gig economy dengan lebih memilih menjadi gig worker.

“Yang dibutuhkan generasi muda adalah pusat inovasi, kursus singkat profesi yang tersertifikasi, co working space, dan semacamnya. Pemprov Jatim juga menyiapkan Program Belanova (belanja inovasi), dan MJC (Millenial Job Center),” ujarnya.(den/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs