Metode pemeriksaan paling akurat untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 adalah Polymerase Chain Reaction (PCR). Tapi tidak semua laboratorium di Indonesia bisa melakukan.
PCR adalah pemeriksaan spesimen dahak hasil swab dari tenggorokan dan mulut untuk mengetahui DNA virus di dalam tubuh. Untuk melaksanakan PCR, perlu reagen khusus pendeteksi SARS-CoV-2.
Selain itu, metode pengetesan spesimen ini harus dilakukan dengan peralatan khusus dan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Sebab itulah tidak semua laboratorium bisa melakukannya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/182/2020, hanya ada 12 laboratorium pemeriksa COVID-19 yang ditunjuk sebagai jejaring laboratorium pemeriksaan virus.
Semua laboratorium pemeriksa itu bisa melakukan screening atas spesimen yang mereka terima dan mengirim spesimen itu ke laboratorium rujukan pemeriksaan COVID-19, yakni Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.
Sementara itu, pemerintah juga sudah memutuskan untuk melakukan metode pemeriksaan COVID-19 yang lebih cepat dan dapat dilakukan secara massal, yakni dengan metode rapid test.
Profesor Dokter Aryati Ahli Patologi Klinik Jatim, kepada Radio Suara Surabaya pada Kamis (19/3/2020) malam menjelaskan, akurasi rapid test (dengan spesimen darah) masih lebih rendah dari PCR.
Ujung-ujungnya, untuk memastikan bahwa orang tertentu positif atau negatif COVID-19 tetap harus dilakukan dengan metode PCR, yang hanya bisa dilakukan 12 laboratorium pemeriksa dan Balitbangkes Kemenkes.
“InsyaAllah, misalnya bulan depan, ya kami tidak menjanjikan apapun, itu tergantung kebijakan pemerintah. Mudah-mudahan ada pemeriksaan yang lebih cepat, dan kalau dibolehkan, ada lebih banyak lab yang bisa melakukan pemeriksaan PCR,” ujarnya.
Bila dibandingkan dengan penanganan di luar negeri, menurutnya proses pemeriksaan COVID-19 di Indonesia justru lebih singkat. Di luar negeri, pemeriksaan tidak cukup dengan PCR dan rapid test.
“Ada urutannya. Ada pemeriksaan darah lengkap yang namanya CDC Complete. Tentang HB, trombosit, leukosit seperti demam berdarah. Itu dulu. Lalu ada pemeriksaan ginjal, lalu ada pemeriksaan untuk liver. Ada berbagai macam,” ujarnya.
Hasil laboratorium tes darah lengkap itu kemudian akan diperiksa lagi oleh dokter. Dokter yang akan menentukan, mana yang mengarah COVID-19. Prof Aryati tetap menegaskan, pemeriksaan swab dengan metode PCR tetap nomor satu.
Soal penyebaran COVID-19 yang cukup cepat, Prof Aryati tetap menyarankan agar masyarakat tidak panik berlebihan. Dia akui, penyebaran virus corona baru (SARS-CoV-2) ini memang cukup mengerikan.
“Kalau kita lihat deret ukur, satu orang menularkan ke lima orang, lima orang jadi beberapa orang, itu kayaknya kok seram sekali. Artinya kalau kita memang mau tidak terlalu panik berlebihan, sebetulnya ya dengan melakukan tindakan pencegahan yang diajarkan pak Jokowi,” ujarnya.
Masyarakat harus rajin mencuci tangan sesuai yang banyak disosialisasikan pemerintah. Kalau batuk jangan sembarangan. Bagi masyarakat yang harus berada di tengah kerumunan, boleh memakai masker.
“Sebenarnya, idealnya yang memakai masker memang orang yang sakit dan tenaga kesehatan yang menangani pasien. Tapi di tengah kerumunan, kita juga harus memakai masker lah. Kuatirnya bisa tertular melalui droplets,” ujarnya.
Lalu dia berpesan, masyarakat perlu menghilangkan stigma bahwa orang dengan positif COVID-19 harus segera dijauhi seperti Orang Dengan HIV/AIDS. Dia tekankan, itu tidak perlu dilakukan.
Kepada pemerintah, Aryati berpesan, kalau nanti pemerintah akan tetap menerapkan rapid test secara massal, interpretasi atas hasil tes cepat itu harus dimaknai dengan sangat hati-hati.
Kalau ada hasil yang positif lewat rapid test, itu belum cukup untuk memastikan bahwa orang bersangkutan memang betul mengidap COVID-19. Tetap harus melalui swab dan tes spesimen dengan PCR.
Demikian halnya kalau hasil rapid test negatif, dia sarankan pemerintah membuat mekanisme yang memungkinkan agar tujuh sampai 10 hari berikutnya, orang bersangkutan dites ulang.
Itu perlu dilakukan karena sifat rapid test yang akan dijalankan pemerintah. Pemeriksaan COVID-19 untuk mengetahui antibodi (pemusnah virus) dalam spesimen darah kurang akurat, karena kemunculan antibodi bergantung masa inkubasi virus.(den/iss/ipg)