Dokter Hermawan Saputra Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengatakan, Indonesia belum memiliki arah kebijakan yang betul-betul tajam dalam urusan pengendalian pandemi Covid-19.
Dia menyebut, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diharapkan jadi solusi, kenyataannya cuma tiga provinsi yang menerapkan, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Sejumlah kabupaten/kota yang awalnya begitu ketat menerapkan aturan itu, sekarang mulai longgar dengan menggunakan istilah PSBB Transisi atau PSBB Proporsional, bahkan hampir tidak ada lagi daerah yang menerapkan pembatasan sosial.
“PSBB dari awal itu bentuk intervensi pemerintah yang sudah longgar. Tetapi, karena harus dilonggarkan lagi, itu sama halnya tidak ada PSBB. Paradigma PSBB, segala sesuatu tetap dibolehkan, segala sesuatu terbuka kecuali yang dilarang atau yang dibatasi,” ujarnya dalam diskusi dialektika demokrasi, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (23/7/2020).
Lebih lanjut, Dokter Hermawan menyorot adanya kebijakan baru dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020. Aturan itu salah satunya mengubah nomenklatur Gugus Tugas Covid-19 menjadi Komite Kebijakan Nasional untuk Pemulihan Ekonomi Nasional dan Pengendalian Covid-19.
Dengan regulasi itu, Gugus Tugas Covid-19 bermetamorfosa menjadi Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
“Satuan tugas dengan gugus tugas itu beda maknanya. Jadi, kalau ada orang mengatakan itu sekadar ganti baju, jelas salah kaprah. Gugus tugas itu sangat taktis untuk bekerja sama dengan stakeholder yang lain, kemudian juga bisa mengumkan informasi perkembangan penanganan secara rutin. Sekarang, di bawah payung hukum baru, pola komunikasinya berubah,” paparnya.
Menurut Dokter Hermawan, informasi perkembangan penanganan kasus Covid-19 perlu disampaikan kepada publik.
Karena, tipikal masyarakat Indonesia umumnya penyimak dan pendengar, bukan pembaca dan pencari tahu.
“Kita harus memiliki arah kebijakan penanganan Covid-19. Kalau tidak memiliki instrumen itu, sama halnya tidak ada pengawasan. Protokol kesehatan sia-sia kalau tidak ada pengawasan,” pungkasnya. (rid/bid/rst)