Hari ini, Sabtu (25/1/2020), para penganut Khonghucu merayakan Tahun Baru Imlek 2571 Kongzili.
Imlek merupakan salah satu hari raya Agama Khonghucu yang diperingati setiap tahun, berdasarkan kalender khusus mengacu pada sistem peredaran bulan.
Budi Santoso Tanuwibowo Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) mengatakan, hakekat dari Imlek adalah memperbaharui diri, kembali ke titik nol, dan berkarya.
Dia bilang, tidak ada larangan bagi Umat Khonghucu bersenang-senang merayakan Imlek. Tapi, yang paling diutamakan adalah kontemplasi untuk merefleksi diri supaya menjadi manusia yang lebih baik.
“Hakekatnya adalah memperbaiki diri, berkarya, kembali ke titik nol dan kontemplasi untuk merefleksi diri. Kalau ada yang sedikit bersenang-senang boleh saja, tapi yang paling utama adalah kontemplasi,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Sabtu (25/1/2020), di Kelenteng Kong Miau, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Menurut Budi, Imlek bagi Khonghucu seperti halnya Nyepi dalam Agama Hindu, atau Natal yang dirayakan Katolik dan Kristiani, Waisak bagi penganut Budha, dan Idul Fitri hari raya Umat Islam.
Dengan keberagaman agama dan etnis, Budi menegaskan perbedaan itu tetap bisa terangkai indah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemuka Agama Khonghucu tersebut berharap, Imlek tahun 2020 yang disimbolkan sebagai Tahun Tikus Logam, bisa jadi hari kebersamaan seluruh anak bangsa, saling peduli terhadap sesama, dan merajut tali silaturahmi yang renggang.
“Hari raya setiap agama hendaknya bisa dijadikan hari kebersamaan kita semua. Hari di mana semua anak bangsa memperbaiki diri, menjalin silaturahmi yang mungkin renggang, dan saling peduli. Terlepas perbedaan agama dan etnis, kita adalah satu bangsa, satu nusa dan berbahasa sama, Indonesia,” tegasnya.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan, setiap tahun ada pesan Imlek yang berkaitan dengan kondisi kemasyarakatan atau kebangsaan.
Hari Raya Imlek tahun ini bertema Wibawa Kebajikan Menumbuhkan Takut Hormat, Gemilang Kebajikan Menumbuhkan.
Mengenai tema itu, Budi menjelaskan, para pemimpin harus orang-orang yang memiliki kebajikan, dan bisa memberikan keteladanan.
Kalau pemimpin cuma menggunakan kekuasaan atau kewibawaan, maka masyarakat bisa jadi segan karena takut.
Tapi, kalau pemimpinnya memberikan contoh teladan, masyarakat akan menghormati dengan penuh kesadaran, tanpa ada paksaan.(rid/tin)