Bambang Soesatyo Ketua MPR RI menegaskan Sumpah Pemuda adalah titik awal terealisasikannya konsep wawasan kebangsaan. Pada tanggal 28 Oktober 1928 lalu, generasi muda bangsa dari berbagai daerah membangun paradigma yang sama dalam memaknai nasionalisme. Ikrar kebangsaan Sumpah Pemuda dirumuskan sebagai perwujudan komitmen yang melandasi pergerakan kebangsaan, hingga berhasil mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.
“Hari ini, setelah 92 tahun berlalu, saatnya kalian sebagai kaum milenial meneruskan semangat Sumpah Pemuda dengan mempersiapkan diri sebagai pemimpin. Sekarang banyak orang penting. Namun, 10 atau 20 tahun mendatang mereka bukan lagi orang penting. Kalian lah yang akan menggantikan mereka menjadi orang penting,” ujar Bamsoet saat membuka Free Training Online ESQ Leadership Center, ‘Sumpah Pemuda, Pancasila Untuk Milenial’ bersama Ary Ginandjar Agustian, secara virtual dari Bali, Rabu (28/10/2020).
Ikut serta dalam pelatihan ESQ virtual ini sekitar 4000 siswa SMA, SMK serta mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia.
Dia mengajak juga kaum milenial bersama melakukan introspeksi diri. Apakah Sumpah Pemuda hanya akan menjadi memori kolektif bangsa yang dikenang setiap tahun melalui upacara-upacara di sekolah, lembaga dan instansi pemerintahan pusat dan daerah? Ataukah menjadikannya sebagai legacy kebangsaan yang akan selalu kita hidupkan dalam keseharian?.
“Mungkin ini pertanyaan retoris. Namun, penting kita tanyakan ke dalam diri masing-masing. Di tangan kalian sebegai generasi muda bangsa, pertanyaan retoris ini saya titipkan sebagai bahan perenungan,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan survey yang dilakukan pada akhir Mei 2020 oleh Komunitas Pancasila Muda, dengan responden kaum muda dari 34 provinsi. Tercatat hanya 61 persen responden yang merasa yakin dan setuju bahwa nilai Pancasila sangat penting dan relevan dengan kehidupan mereka. Sementara, 19,5 persen bersikap netral, dan 19,5 persen lainnya menganggap Pancasila hanya sekedar nama yang tidak dipahami maknanya. Selanjutnya, survey CSIS mencatat ada sekitar 10 persen generasi milenial yang setuju mengganti Pancasila.
“Sebelumnya, survey LSI Tahun 2018 juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 13 tahun masyarakat yang pro terhadap Pancasila telah mengalami penurunan sekitar 10 persen, dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018,” papar Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini mengingatkan, masih adanya sikap generasi muda yang tidak sejalan dengan Pancasila, menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah bagi semua elemen bangsa untuk mengupayakan agar Pancasila lebih dapat diterima generasi muda. Agar lebih dapat diterima, maka pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila harus diterjemahkan dalam dunia anak muda.
“Ada beberapa metode yang telah saya gunakan. Misalnya, melalui platform sosial media seperti Youtube Bamsoet Channel. Di satu sisi, metode ini dapat mendekatkan Pancasila dalam kehidupan keseharian generasi muda. Di sisi lain, masuknya konten-konten yang menghadirkan nilai Pancasila dapat menjadi penyeimbang atas masifnya konten dari platform lain yang lebih banyak mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal dan jatidiri bangsa,” kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, diantara sebagian kecil generasi muda yang mempunyai sikap tidak sejalan dengan Pancasila, mereka termasuk generasi muda terpelajar atau berprestasi secara akademik. Kondisi ini sedikit banyak menggambarkan bahwa masih ada celah pada sistem pendidikan, terutama pada aspek pendidikan karakter.
“Dalam kaitan ini, saya sangat mendukung gagasan pelatihan ESQ yang mengingatkan bahwa dalam membangun sumberdaya manusia, kecerdasan intelektual (intelligence quotient) saja tidak cukup. Tetapi, harus dilengkapi dengan kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Akan jauh lebih menarik jika dalam berbagai pelatihan yang dilakukan, ESQ Leadership Center turut memasukan materi kebangsaan. Sehingga para peserta training juga memiliki national quotient,” pungkas Bamsoet. (faz/TIN)