Jumat, 22 November 2024

UMK Naik: Perusahaan Sepatu di Jatim Tutup, Pindah, sampai Beralih Jadi Importir

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi industri sepatu. Foto: Antara

Kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2020 di Jawa Timur mengancam industri padat karya, terutama industri alas kaki atau persepatuan. Sejumlah pengusaha sepatu mulai menutup usahanya.

Winyoto Gunawan Ketua Asosiasi Persepatuan (Aprisindo) Jawa Timur mengatakan, kenaikan UMK bertubi-tubi bagi para pelaku usaha padat karya persepatuan terasa sangat berat.

“Kami di industri padat karya ini merasa berat banget, karena sejak zaman kekuasaan Pakde Karwo (gubernur sebelumnya) kan sudah dinaikkan (UMK) berlipat ganda,” ujarnya.

Aprisindo menghitung, total kenaikan UMK selama tiga tahun berturut-turut sudah mencapai 160 persen. Ini, kata dia, yang membuat perusahaan persepatuan di Jatim sudah setengah mati.

Di masa Soekarwo masih gubernur, Winyoto bilang, pengusaha sepatu sebenarnya sudah merasa kebingungan. Kenaikan UMK di Jatim tidak sesuai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang disarankan pusat.

“Khususnya di Lamongan, kenaikan UMK-nya tinggi sekali. Akhirnya, salah satu korbannya, anggota kami di sana, menutup usahanya. Kenaikan UMK Lamongan kemarin, kan, sampai 20 persen,” katanya.

Tidak hanya perusahaan di Lamongan, Winyoto juga mendapat kabar dari rekannya, pengusaha sepatu di Sidoarjo, yang juga sudah menutup usahanya karena tidak mampu membayar sesuai UMK.

“Saya masih mendata, berapa sebenarnya perusahaan yang tutup. Saya dengar, katanya sudah ada dua lagi yang tutup. Tapi saya tidak mau ‘katanya’, saya perlu memastikan,” ujarnya.

Setidaknya ada 53 perusahaan persepatuan yang menjadi anggota Aprisindo Jatim. Jumlah itu, kata Winyoto, sudah menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlah produksinya juga menurun.

Kenaikan UMK bertubi-tubi juga memaksa pelaku industri persepatuan di Jatim pindah lokasi meski masih di dalam provinsi. Yang tadinya beroperasi di Ring 1, pindah ke Ring 2 atau ke Ring 3.

“Saya lihat belum ada yang ke Jawa Tengah. Kalau dari Jawa Barat banyak. Informasinya ada lima. Itu laporan dari Aprisindo Pusat. Nah, kami di Jawa Timur merasa lahir di sini, tumbuh di sini, kalau bisa tetap di sini,” katanya.

Winyoto khawatir, para pengusaha Jawa Timur yang ingin bertahan, kalau sudah tidak kuat ujung-ujungnya mengundurkan diri: tutup, atau pindah, seiring pindahnya Penanam Modal Asing (PMA).

Ya, kenaikan UMK secara bertubi-tubi, kata Winyoto, memang sudah membuat kepercayaan investor, terutama PMA, terhadap industri persepatuan di Jawa Timur semakin merosot.

“Ini saya tadi dapat (informasi), ada tiga lagi. Katanya, kalau upah sektoral (UMSK) diberlakukan, mereka akan hijrah. Ada tiga perusahaan (persepatuan) besar. Salah satunya PMA,” katanya.

Ada lebih dari 10 perusahaan sepatu di Jawa Timur yang disokong modal asing. Kebanyakan dar mereka selama ini telah menyumbang pertumbuhan ekspor sepatu dari Jawa Timur.

“PMA itu, yang perlu diketahui, mereka itu seperti tawon. Begitu ada yang manis mereka lari ke sana. Khawatirnya, mereka lari ke negara lain yang dianggap lebih manis daripada di Indonesia,” ujarnya.

Sedangkan pengusaha yang “bermain” di tingkat lokal, yang lahir dan tumbuh di Jawa Timur, sudah mulai mengurangi karyawan. Sebagian dari mereka juga sudah berubah status menjadi importir sepatu.

“Makanya kami sangat menyayangkan, dalam pengupahan ini pemerintah kurang memperhatikan kompetitor kami. Bukan kompetitor dalam negeri, ya, khususnya yang di luar negeri,” katanya.

Para pengusaha sepatu di Jawa Timur selama ini memang tidak menganggap pengusaha di provinsi lain sebagai kompetitor. Kompetitor sesungguhnya adalah negara lain.

“Jawa Tengah itu masih Indonesia. Pemerintah itu perlu melihat dan menengok negara sekeliling, seperti Vietnam, Bangladesh, dan sebagainya. Semakin lama mereka semakin gencar,” ujarnya.

Para pengusaha sepatu dalam negeri, kata Winyoto, sudah kalah satu langkah dalam hal kebijakan antarpemerintah (G to G) mengenai bea masuk impor. Kalah satu langkah dengan negara lain di Asia.

“Kami ini sudah kalah bargaining power. Produk kami yang masuk Amerika dan Eropa dikenai bea yang hampir lima persen, sedangkan untuk Vietnam, Bangladesh, atau Kamboja 0 persen,” ujarnya.

Pemerintah, menurutnya, bukannya memikirkan persaingan ekspor dengan negara lain, justru membuat kebijakan pengupahan yang justru semakin tidak mendukung pengusaha sepatu.

Saat sejumlah pengusaha mengajukan penangguhan UMK misalnya. Winyoto merasa aneh karena ketika penangguhan itu disetujui, pengusaha dikenai kewajiban Upah Minimum Sektoral (UMSK).

“Jadi bagaimana kami mengatakannya. Ini hukumnya enggak jelas. Yang harus diikuti yang mana dan bagaimana? Kadang-kadang, yang kami khawatirkan, para pejabat ini menggunakan aji mumpung: mumpung masih berkuasa, mumpung mau pemilihan,” katanya.(den/tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs