Henri Subiakto Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika RI Bidang Hukum mengimbau masyarakat agar tidak mudah membagikan (share, red) berita yang belum tentu kebenaran di media sosial. Hal ini menanggapi kasus penyerangan Polsek Wonokromo (17/8/2019) dan aksi membakar gedung kantor DPRD Papua Barat di Manokwari (19/8/2019).
Menurutnya, meski kedua kasus ini berbeda, namun benang merah yang menjadi pemantik peristiwa di Wonokromo dan Manokwari adalah sama, yaitu berdasarkan informasi di media sosial yang belum jelas kebenarannya.
Dalam kasus penyerangan Polsek Wonokromo, pelaku yang diduga simpatisan ISIS, melakukan aksinya berdasarkan apa yang dipelajarinya melalui media sosial. Sedangkan dalam kasus aksi di Manokwari, salah satunya menanggapi tersebarnya kabar pengusiran warga Papua di Surabaya.
Pieter Frans Rumaseb Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) pada Senin (19/8/2019) kemarin, menegaskan bahwa kabar tersebut adalah hoaks.
“Saya dengan beberapa senior Papua yang berada di Surabaya, kami menyampaikan bahwa informasi yang berkembang di media, terkait ada pengusiran dan lain sebagainya itu hoaks. Kami di Surabaya baik, mahasiswa hidup kondusif dan tidak ada apa-apa, artinya informasi itu tidak benar,” kata Pieter saat di Mapolda Jatim.
Menanggapi hal itu, Henri Subiakto meminta masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam bermedia sosial, dengan cara tidak mudah membagikan berita yang belum tentu kebenarannya. Apalagi, orang yang terbukti menyebarkan berita bohong akan terancam dikenai hukum pidana.
“Hukum di UU ITE itu, yang kena adalah yang menyebarkan. Entah itu terkait permusuhan, SARA, fitnah, yang disengaja maupun yang mengandung agenda politik tertentu,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (20/8/2019).
Menurutnya, saat ini media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi atau informasi, tetapi juga digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan ideologi transaksional dan propaganda. Sehingga jika tidak berhati-hati, masyarakat akan terjebak dalam isu perpecahan yang bisa mengancam keharmonisan berbangsa dan bernegara.
“Kalau itu terjebak dalam hal itu, kita akan menjadi bangsa yang sensitif dan mudah percaya apa yang ada di sosmed, kita gampang terombang-ambing, sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit demo,” ujarnya.
Maka dari itu, ia menekankan pentingnya literasi media untuk belajar memahami pesan mana yang harus dipercaya, dan mana yang seharusnya tidak disebarkan. Ini dikarenakan dengan menggunakan media sosial, setiap orang bisa berperan sebagai wartawan tanpa kode etik serta cek dan ricek yang benar.(tin/rst)