Persaingan tarif antar perusahaan ojek online (ojol)/transportasi online dengan saling beradu memberikan tarif murah membuat konsumen senang karena mendapatkan harga yang kompetitif. Namun dibalik persaingan itu, pengamat menilai tujuan utama perusahaan yang bergerak di bidang digital economy ini memang tidak mencari keuntungan secara langsung.
Menurut Rumayya Batubara Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga sekaligus pengamat ekonomi, perusahaan saling adu murah dalam hal tarif karena memang tidak mencari profit secara langsung, namun mencari banyak user. Jumlah user itulah yang kemudian membuat nilai suatu perusahaan akan naik dan kemudian digunakan untuk menarik investor.
“Kalau nilainya besar, maka investor akan masuk untuk berinvestasi lagi. Kalau nilainya terus naik, mereka akan jual saham. Jadi bukan lagi mengejar profit, bisnis ini memang ‘bakar-bakaran duit’, jatuh-jatuhan harga,” kata Rumayya kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (6/3/2019).
Jika perang tarif ini terus berlangsung, lanjut Rumayya, maka yang akan merasakan dampaknya secara langsung adalah para driver dan mitra perusahaan, yang kebanyakan adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Menurutnya, jika margin pendapatan yang terus menurun, maka behavior atau perilaku para driver dan mitra juga akan menurun dalam melayani pengguna jasa. Jika kualitas layanan dalam industri transportasi turun, maka yang akan berpengaruh adalah keselamatan pengendara itu sendiri.
“Kalau persaingannya di harga, pasti akan ada penurunan kualitas karena pendapatannya terus tergerus. Mitra UMKM akan berdampak juga karena marginnya tipis. Driver apalagi, dulu santai sekarang berat. Kalau mereka over kejar penumpang dan terlalu lelah, maka akan berdampak ke pengguna jasanya,” tambahnya.
Rumayya berharap, agar para pelaku industri tidak hanya fokus pada persaingan harga, namun juga bersaing dalam hal layanan dan kualitas. Ini dikarenakan sebagian masyarakat tidak lagi melihat harga untuk saat ini, namun yang memperhatikan kualitas layanan.
Ia juga meminta agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan evaluasi kembali terhadap alat deteksi persaingan usaha. Ini dikarenakan teknologi semakin berkembang dan banyak cara yang dilakukan pelaku bisnis digital economy untuk melakukan berbagai kebijakan.
“Perang tarif sebenarnya bukan hal baru, namun untuk digital economy memang ke sana trennya, karena platformnya beda, jadi mereka bukan cuma mencari keuntungan saja. KPPU juga harus mengevaluasi alat deteksi lama karena teknologi semakin berubah,” tutur Rumayya.(tin/ipg)