Sejumlah pendeta dari Papua berkunjung ke Gedung Negara Grahadi bertemu Khoifah Indar Parawansa Gubernur Jawa Timur, Senin (26/8/2019). Mereka berharap, tidak ada lagi ungkapan-ungkapan yang tidak sesuai kepada mahasiswa asal Papua.
Ada sejumlah hal yang mereka bahas di Grahadi bersama Khofifah dan Inspektur Jenderal Polisi Luki Hermawan Kapolda Jatim. Salah satunya berkaitan proses hukum yang sedang berjalan berkaitan insiden di Asrama Jalan Kalasan.
Polda Jatim maupun Polrestabes Surabaya saat ini masih menyelidiki kasus perusakan Bendera Merah Putih dan ujaran rasisme kepada mahasiswa asal Papua di asrama Jalan Kalasan itu. Para pendeta ini berharap, proses ini bisa tuntas.
“Itu wilayah hukum kepolisian. Kami berharap dan percaya, urusan ini bisa selesai dengan baik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan,” kata Pieth Wambrauw Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja se-Kota Jayapura, Papua.
Pieth mengatakan, kedatangan mereka di Jawa Timur adalah utusan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Papua dan Papua Barat. Tujuan mereka, terutama untuk mengunjungi anak-anak mereka, para mahasiswa yang berkuliah di Jawa Timur.
Pieth sendiri mengatakan, para pendeta yang dia wakili menyayangkan insiden di Jalan Kalasan itu terjadi. Dia pun beraharap, setelah insiden itu, para mahasiswa asal Papua di Jawa Timur kembali berkuliah.
“Kami berharap mereka bisa kembali kuliah lagi. Sehingga mereka bisa kembali ke Papua dan membangun bersama masyarakat. Kami juga berharap, Kota Surabaya menjadi model untuk menyelesaikan masalah seperti ini,” ujarnya.
Dia berharap Khofifah selaku Gubernur dapat menjadi orang tua yang paling dekat dengan para mahasiswa asal Papua. Karena itulah para pendeta ini juga menyatakan, Khofifah saat ini sudah menjadi Mama Papua.
Pieth pun menyampaikan permintaan maaf atas nama mahasiswa asal Papua di Surabaya dan juga di Malang. Juga atas respons mereka di Papua dan Papua Barat sehingga memunculkan ketidaknyamanan.
“Kami minta maaf atas nama anak-anak kami yang sudah bersalah, yang mengakibatkan ketidaknyamanan, baik di Surabaya dan Malang, juga hal-hal yang terjadi di sana, yang sangat luar biasa. Kami para pendeta minta maaf atas peristiwa itu,” ujarnya.
Namun, sebaliknya dia juga berharap Gubernur dapat melibatkan mahasiswa asal Papua di Jawa Timur dalam berbagai kegiatan di Provinsi Jatim. Supaya mereka tidak merasa sendiri dan bisa menjadi bagian dari masyarakat.
“Jadi, Ibu Gubernur, mohon libatkan mereka dalam apapun supaya mereka menjadi bagian dari masyarakat Jawa Timur. Dan kami tidak mau ada ungkapan-ungkapan yang tidak sesuai sebagai manusia dan anak bangsa. Tidak boleh lagi ada ungkapan yang mendiskriminasi atau rasis, karena kita semua adalah keluarga,” ujarnya.
Dia berharap apa yang telah dilakukan di Surabaya dan Provinsi Jatim pada umumnya menjadi model ke depan untuk menangani masalah berkaitan mahasiswa asal Papua daerah lain.
“Karena banyak sekali anak-anak kami yang belajar di luar Papua, baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa barat, dan daerah studi lainnya,” katanya.
Sementara, Khofifah mengatakan, pertemuan ini memang atas inisiasinya dengan bantuan Badan Musyawarah Antara Gereja (Bamag) di Jawa Timur agar bisa berkomunikasi dengan pemimpin religius di Papua.
“Kami berharap religious leader (para pendeta) akan menjadi bagian perekat penguat kebersamaan kami. Kami bersyukur pendeta dari Jayapura, Manokwari, dan Sorong berkenan hadir,” ujarnya.(den/iss/ipg)