Sabtu, 23 November 2024

Komnas HAM: Kebiri Kimia Kemunduran Peradaban Hukum Indonesia

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
M Choirul Anam Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Foto: Denza suarasurabaya.net

M Choirul Anam Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyayangkan penerapan kebiri kimia terhadap pelaku pencabulan sembilan anak di Mojokerto. Menurutnya, ini kemunduran peradaban hukum di Indonesia.

“Kami mengingatkan kita semua sudah komitmen, bahwa kita sudah meratifikasi konferensi anti-penyiksaan. Reformasi hukum pidana kita juga sudah menunjukkan, hukuman fisik, merusak fisik secara permanen, itu juga dihindari,” ujar Anam di Kantor LBH Surabaya, Senin (26/8/2019).

Anam mengatakan, kita memang harus mengecam tindakan pencabulan atau pemerkosaan. Apalagi korbannya adalah anak-anak di bawah umur, dan jumlahnya banyak. Dia mengakui, kejahatan itu memang di luar batas kemanusiaan.

Namun, dia berpendapat, hukum di Indonesia juga memiliki hukuman seberat-beratnya sampai seumur hidup. Kalau perlu, ditambah kerja sosial sehingga hukuman berat itu masih bermanfaat bagi orang lain.

“Tapi kebiri, menurut kami itu tidak sesuai prinsip hak asasi manusia dan tidak akan membuat pelakunya jera,” ujarnya.

Konteks hukuman membuat orang jera atau tidak itu, menurutnya, juga sudah ditinggalkan oleh sistem hukum di dunia, termasuk Indonesia. “Kita tunjukkan bahwa kita beradab, hukum seberat-beratnya tapi tidak dengan kebiri,” ujarnya.

Anam menegaskan, Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta beberapa ahli hukum di Indonesia sudah menolak hukum kebiri kimia. Karena menurut mereka, hukuman itu menghilangkan esensi dari penegakan hukum.

Penegakan hukum melalui penghukuman, kata Anam, harus bisa diukur. Penghkuman itu menurutnya juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Terutama mengenai dampak dari hukuman itu.

“Kan, kita bukan negara bar-bar. Kejahatan seperti itu memang harus dihukum. Pertanyaaannya, apakah itu sifatnya permanen atau tidak? Kebiri secara fisik adalah hukuman berdampak permanen. Tidak boleh di manapun,” katanya.

Anam membandingkan kebijakan hukum kebiri ini dengan kebijakan penghukuman di Maroko, salah satu negara di Afrika yang menurutnya kualitas demokrasinya masih lebih baik di Indonesia.

“Beberapa tahun lalu di Maroko, mencuri itu potong tangan. Akhirnya Maroko sadar, tidak bisa begitu. Hukum potong tangan dihapus diganti hukum kurungan badan. Setelah itu kualitas demokrasinya naik, kualitas kejahatannya turun. Lah, kalau di sini mau nyonto Maroko di zaman jahiliyahnya, ya monggo saja. Kita akan melorot,” ujarnya.

Kebiri menurutnya akan membuat peradaban hukum Indonesia yang selama 15 tahun terakhir diperbaiki kembali mengalami kemunduran. Selama 15 tahun belakangan, kata Anam, penghukuman fisik seperti dipukuli, disiksa, sudah dikurangi.

“Kok ini malah diperkuat. Konteks waktu itu (pembuatan Undang-Undang), ini soal kepingin populer saja di mata publik, mereka sebagai pejabat publik paling tinggi di negara ini bersepakat melakukan itu. Padahal ini menyeret kita pada peradaban hukum yang semakin mundur,” katanya.

Dia juga menyampaikan kekhawatiran, bagaimana bila suatu saat di masa mendatang terjadi salah tangkap pelaku kejahatan seksual. Menurutnya, salah tangkap seperti ini pernah terjadi di beberapa tempat tapi dia tidak sebutkan.

“Sama dengan hukuman mati. Bukan dia yang membunuh, karena ada orang lain yang mengaku. Memang dia bisa dipanggil mayatnya?” Katanya.

Hukuman kebiri juga tidak akan membuat pelakunya jera. Penjahat kambuhan, setelah menjadi warga lembaga pemasyarakat kembali jadi residivis, menurut Anam yang salah bukan aturan tentang penghukumannya.

“Yang salah lembaga pemasyarakatannya. Seharusnya mereka (pelaku kejahatan) dibina di sana. Makanya namanya dulu penjara sekarang diganti jadi lembaga pemasyarakatan. Di lembaga ini orang yang dalam tanda petik sudah rusak diperbaiki supaya bisa diterima kembali oleh masyarakat,” ujarnya.

Daripada memutuskan hukuman kebiri, Anam menyarankan, untuk pelaku penjahat kambuhan seperti itu lebih baik dihukum seumur hidup saja. “Taruh saja di Nusakambangan,” ujarnya.

Perlu diketahui, Muhammad Aris (21) warga Dusun Mengelo, Sooko, Mojokerto Pelaku pencabulan sembilan anak dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp100 juta, serta harus menjalani hukuman kebiri kimia.

Aris terbukti terbukti mencabuli 9 anak gadis yang tersebar di Wilayah Mojokerto sejak 2015 silam. Aksi cabulnya terekam kamera CCTV di perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, Kamis (25/10/2018).

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto memutuskan pelaku bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.(den/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs