Dradjad Hari Wibowo Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) mengatakan, penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dan bencana asap itu harusnya komperhensif supaya bisa efektif.
“Tadi saya contohkan anggota TNI sudah disana ternyata airnya kurang. Artinya harus ada pembangunan infrastruktur untuk membangun water reservoir (tabung air) di daerah-daerah yang berisiko tinggi. Dan ini tidak bisa dibangun pada saat terjadi bencana kan? Harus dibangun terus-menerus,” ujar Dradjad dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/10/2019).
Kata Dradjad, dalam kultur pertanian memang membakar lahan itu teknik pengolahan yang paling murah dan efektif.
“Bisa langsung menghasilkan humus, mematikan hama penyakit tanaman dan sebagainya,” jelasnya.
Menurut Dradjad, mengubah kultur ini memerlukan waktu, teknologi dan biaya, karena tidak mungkin masyarakat semuanya disuruh memakai traktor. Sehingga, harus ada pendekatan komperhensif.
Kata dia, kelemahan dari pendekatan pemerintah itu terlalu menekankan pada penegakkan hukum, kemudian menjadi lebih banyak ke pencitraan.
“Faktanya, hanya sebagian kecil saja yang proses (hukum) nya lanjut, sehingga kurang efektif,” tegasnya.
Tetapi, kata Dradjad, bukan berarti penegakkan hukum tidak perlu, itu sangat penting.
“Saya ibaratkan seperti ada gedung terbakar, jelas kita harus cari siapa yang membakar kan? Tapi gedung itu harus dibangun supaya tahan api, kalau ada kebakaran harus ada sprinkle. Nah ini yang harus dibangun juga. Jadi penegakkan hukum itu langkah penindakan terhadap kriminalnya, tapi itu belum bisa mencegah. Nah untuk mencegah harus membangun sistemnya itu,” ujar dia.
Menurut Dradjad, Karhutla yang terjadi selama ini mendapat perhatian dunia internasional. Dari sisi bencana nasional, dalam lima tahun terakhir luar Karhutla yang terbakar mencapai 4,5 juta ha lebih, dan terbesar tahun 2015, yang mencapai hampir 3 juta ha. Sedangkan tahun 2019, hingga September mencapai 350 ribu ha. Kerugian ekonomi akibat Karhutla juga cukup besar. Tahun 2015, kerugian yang dialami mencapai Rp 221 trliun, sedangkan tahun 2019 mencapai Rp 66,3 triliun.
“Kerugian ini jangan diremehkan karena mempengaruhi perekonomian secara nasional sehingga harus dicari keseimbangan supaya tidak terjadi defisit,” jelas Dradjad.
Mengutip Unicef, Dradjad mengatakan, ada 10 juta anak Indonesia yang terganggu kesehatannya akibat Karhutla.
Yang menarik, dunia internasional cenderung menuduh bahwa pelaku Karhutla adalah pemegang konsesi hutan dan lahan. Sehingga sejumlah produk hasil hutan yang diekspor diboikot sehingga perlu dilobi.
“Gara-gara kebakaran hutan di tahun 2015-2016, produk hasil hutan Indonesia yang ekspor diboikot, karena pelaku usahanya diduga terlibat dalam kebakaran hutan,” tegas Dradjad.(faz/tin/ipg)