Dokter Daeng Faqih Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia mengatakan, ke depan harus ada sosialisasi yang baik tentang apa saja kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), waktu kerjanya dan siapa yang boleh.
“Kira -kira pemilu nanti petugas kerjanya seperti apa, kemudian waktunya seperti apa, kemudian dikasih tahu siapa yang boleh ikut jadi penyelenggara pemilu,” ujar Daeng di sela-sela diskusi publik “Membedah Persoalan Sebab Kematian Mendadak Petugas Pemilu dari Perspektif Keilmuan” di kantor IDI, Jalan GSSY Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/5/2019).
Menurut Daeng, rekam kesehatan juga penting untuk diketahui sebelum menjadi petugas KPPS.
“Misalnya kesehatannya seperti apa, dia sudah memiliki penyakit atau risiko-risiko penyakit sebaiknya tidak direkrut atau dipilih menjadi petugas KPPS,” kata dia.
Tetapi, dr. Daeng mengaku telah mendengar dari pegiat pemilu atau KPU sendiri memang dilaporkan serba susah. Karena tidak banyak juga orang yang ingin menjadi penyelenggara pemilu / KPPS. Dan orang-orang yang ikut itu biasanya karena dia ingin membantu saja, agar Pemilu berjalan baik.
“Memang serba repot, tetapi dengan evaluasi seperti ini minimal kita bisa memperbaiki. Karena 2014 juga pernah ada korban lebih 100 orang yang disebutkan KPU. 2019 lebih banyak lagi. Itu sebenarnya warning bagi kita kalau ini tidak dibenahi, tidak dilihat sebabnya, dikhawatirkan pemilu ke depan bisa banyak korban lagi dan jadi masalah,” tegasnya.
Dia menjelaskan, sebenarnya syarat-syarat tes kesehatan untuk anggota KPPS itu mulai dulu sudah ada. Hanya saja, persoalannya memang pemeriksaan kesehatan seperti apa yang diminta? Karena pemeriksaan kesehatan yang lengkap itu mungkin akan membebani biaya. Padahal anggota KPPS itu hanya dibayar sekitar Rp.500 ribu, sementara pemeriksaan kesehatan lengkap biayanya melebihi itu (gaji KPPS).
Ke depan,kata Daeng, perlu dipikirkan cara menyaring anggota KPPS sehingga korban tidak terjadi lagi.(faz/iss)