Jumat, 22 November 2024

DPR: Ironis, Penemu Benih Padi di Aceh Harusnya Dibina, Tapi Malah Ditangkap

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Andi Akmal Pasludin Anggota Komisi IV bidang pertanian DPR RI di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Munirwan seorang Keuchik atau Kepala Desa Meunasah Rayeuk Nisam, Kabupaten Aceh Utara ditahan Polda Aceh, Selasa (23/7/2019).

Munirwan berhasil mengembangkan benih padi jenis IF8. Bahkan atas inovasinya tersebut, Gampong (Desa) Meunasah Rayeuk mendapat juara dua Nasional inovasi desa yang diserahkan Eko Putro Sanjojo Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Inovasi tersebut kemudian dikelola melalui Badan Usaha Milik Gampong, dan menjual bibit IF8 hingga ke empat kecamatan karena keunggulannya itu.

Desa itu sukses dan menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp1,5 miliar. Prestasi itu kemudian dibalas dengan penahanan Munirwan, karena menjual bibit padi jenis IF8 itu tanpa label.

Menyikapi kasus tersebut, Andi Akmal Pasludin anggota Komisi IV bidang pertanian DPR RI menilai ironis dan kurang bijaksana atas penangkapan Munirwan.

“Saya kira ini langkah yang kurang tepat, kurang bijak. Seakan-akan masyarakat kecil ditangkapin, sementara impor kita bebaskan,” ujar Andi di gedung DPR RI, Senayan, jakarta, Sabtu (27/7/2019).

Menurut Andi, Kementerian pertanian seharusnya justru membantu dan membina, karena biaya sertifikasi juga mahal atau sekitar Rp17 juta.

Kata Andi, Komisi IV DPR akan berbicara dengan Amran Sulaiman Menteri Pertanian agar masalah sertifikasi bisa diambilkan dari APBN.

“Jadi, nanti kita akan bicara dengan Menteri Pertanian. Kita anggarkan di APBN. Kita berikan nanti biaya sertifikasi kepada masyarakat yang memang punya usaha bibit pembuatan bibit padi, sehingga mendapatkan dana yang kemudian tetap mendapat pendampingan,” jelasnya.

Menurut dia, para petani yang berinovasi ini jangan dicari-cari dulu masalah hukumnya, karena kalau ini terjadi akan mematikan usaha kecil masyarakat.

“Selama ini menjadi penangkar benih itu harus bersertifikat. Itu butuh waktu lama dan biayanya mahal sekitar Rp17 juta. Ini kan harusnya pemerintah jangan menegakkan hukum tapi tidak melihat akar masalahnya,” tegasnya.

Kemungkinan penangkapan Munirwan karena ada cukong besar merasa terganggu, kata Andi, kemungkinan itu juga bisa.

“Nah itu saya kira bisa juga. Kalau ini terjadi, nanti yang bisa membuat benih itu hanya pengusaha-pengusaha besar dan itu akan mematikan UKM kita di daerah. Petani petani kita bisa membuat benih, tapi karena tidak punya sertifikat ditutup semua. Itu bahaya dan mematikan ekonomi rakyat kita,” kata Andi.

Akibatnya, kata Andi, akan terjadi monopoli perusahaan besar yang mempunyai benih, dan itu pasti akan merugikan kelompok kelompok tani yang dibawah yang selama ini sudah menjual benihi benih padi maupun jagung.

Solusinya, kata Andi, adalah bagaimana kementerian pertanian mendampingi para penangkar-penangkar benih ini untuk mendapatkan sertifikat dengan gratis.

“Jadi dananya dari kementerian pertanian yang diambilkan dari APBN. Kemudian penegak hukum jangan memakai pendekatan sistem pidana. Ini kan harusnya dibina dulu kemudian jangan sampai ada mafia besar ingin mematikan pengusaha kecil dan masuk sebagai monopoli,” jelas dia.

“Petani kan bisa bilang begini ‘kami hanya menjual sedikit ditangkap, orang katanya impor dari luar satu juta ton bebas mafianya’ Ini ketidakadilan yang terjadi kalau begitu,” imbuhnya.(faz/tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
28o
Kurs