Dominasi TNI selama bertahun-tahun pada masa pemerintahan Orba (Orde Baru) membuat kultur sipil tidak siap mengambil alih pemerintahan sepenuhnya. Ini dikatakan oleh Muktiono Akademisi Universitas Brawijaya ketika mengisi diskusi publik yang diselenggarakan oleh KontraS Surabaya pada Sabtu (2/3/2019).
Ia mengatakan, sipil tidak terbiasa menangani sepenuhnya persoalan-persoalan negara.
“Padahal ketika kita bicara reformasi yang dijunjung tinggi adalah supremasi sipil,” ujarnya.
Dominasi TNI membuat politisi manapun selalu tergiur untuk menggandeng TNI. Sehingga ia berpendapat, dalam konteks Pemilu 2019 militer akan tetap memiliki peran signifikan dan dominan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, siapapun calon presiden yang terpilih.
Tak hanya dalam praktek perpolitikan, banyak sektor di masyarakat yang masih menganggap militer dibutuhkan karena kondisi sipil yang tidak mewadahi. Ia mencontohkan, saat ini sudah ada puluhan Moment of Understanding (MoU) dari berbagai lembaga yang isinya menjalin kerja sama dengan TNI.
“Padahal, jika mengaca pada negara yang maju, di level ekstrim pun seperti bencana, kita melihat Jepang misal, sipil pun bisa. Jadi gak perlu melibatkan militer,” ujarnya mencontohkan.
Meski begitu, secara objektif masyarakat memang akan susah untuk keluar dari keterlibatan militer. Namun, ia menegaskan, bahwa cita-cita ini patut untuk terus dijaga.
“Kalau tidak ada supremasi sipil kita tidak akan mencapai demokrasi konstitusional. Sipil adalah penentu masa depan,” pungkasnya. (bas/wil/iss)