Serangan pneumonia masih menjadi ancaman di Jawa Timur. Penyakit yang sering menyerang balita ini tetap menempati peringkat kedua penyakit yang mematikan setelah diare.
dr Kohar Hari Santoso Kepala Dinas Kesehatan Jatim menuturkan, serangan pneumonia paling banyak dialami balita dengan rentang usia dibawah lima tahun.
“Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Lingkungan dan kesadaran masyarakat dalam memahami upaya preventif harus bisa ditingkatkan,” kata Kohar ketika ditemui di sela-sela diskusi media di Hotel Kampi Surabaya, Rabu (28/8/2019).
Ia melanjutkan, sepanjang 2018 saja pneumonia yang terjadi di Jatim mencapai 92.913 untuk penderita di bawah usia lima tahun. Sementara penderita di atas lima tahun ada 32.910 orang.
Data di Dinas Kesehatan Jawa Timur sendiri sepanjang tahun 2018 kemarin, mencatat penemuan penderita pneumonia tertinggi pada bulan Maret, sebanyak 9.116 orang. Disusul bulan Februari sebanyak 8.392 orang, dan bulan Januari sebanyak 8.195 orang pasien.
Dr. Muhammad Attoillah Isfandiari, dr, M.Kes Pakar Epidomologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair Surabaya mengatakan, upaya preventif harus bisa dilakukan untuk menekan jumlah serangan pneumonia.
“Salah satu cara yang bisa dilakukan semua pihak adalah dengan imunisasi,” katanya, seperti dalam rilis yang diterima suarasurabaya.net.
Dengan adanya upaya preventif, maka biaya yang dikeluarkan seseorang jauh lebih murah. Kalau serangan pneumonia itu terjadi, biaya pengobatan yang dikeluarkan bisa sampai puluhan juta.
“Dukungan lainnya tentu saja kebiasaan hidup sehat. Polusi yang terjadi di sebuah daerah juga berpengaruh,” katanya.
Sementara itu, Tubagus Arie Rukmantara Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa mengatakan, pemerintah sebaiknya lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk pencegahan penyakit menular semacam pneumonia ini.
“Jika dibandingkan dengan ketika sudah sakit dan hatus diobati, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien akan jauh lebih besar. Maka dari itu tindakan pencegahan ini akan sangat tepat,” katanya.
Sayangnya saat ini alokasi anggaran untuk upaya preventif masih kalah porsinya dibandingkan upaya pengobatan. Baik itu dilakukan dengan membeli obat langsung oleh pasien menggunakan asuransi swasta, maupun yang dijamin oleh pemerintah melalui program BPJS.
Hal senada juga diungkapkan Dr. dr. Dominicus Husada SpA.K. Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Timur ini juga menyoroti masih minimnya dukungan pemerintah dalam upaya pencegahan penyakit menular ini.
“Kalah dibanding dengan membayar BPJS untuk mengobati yang sudah sakit. Karena pencegahan itu memang hasilnya tidak terlihat. Padahal untuk investasi di masa depan, nilai anak-anak yang kebal dari serangan penyakit menular ini jauh lebih menguntungkan dibanding dengan anggaran yang dikeluarkan untuk BPJS,” ujar Dr. Dominicus.
Namun demikian menurut Dr. Dominicus, pemerintah kini juga tengah berupaya menambah satu jenis imunisasi untuk penyakit menular di Indonesia.
“Saat ini belum diputuskan, apakah memasukkan imunisasi untuk diare atau pneumonia. Keduanya adalah penyebab kematian tertinggi anak di Indonesia. Ini masih alot dan tarik ulur,” jelas Dr. Dominicus. (dwi)