Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari nantinya adalah peringatan HPN ketiga puluh empat. Tanggal 9 Februari sendiri dipilih karena bersamaan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang jatuh tanggal yang sama.
Hari Pers Nasional ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985, yang menyebutkan bahwa pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Namun, jauh sebelum ditetapkannya Keppres tersebut, HPN telah dibahas dalam Kongres ke-28 Persatuan Wartawan (PWI) pada tahun 1978. Kongres yang diadakan di Padang, Sumatera Barat tersebut menghasilkan keputusan yang salah satu butirnya membahas kehendak masyarakat pers, untuk menetapkan satu hari bersejarah untuk memperingati peran dan keberadaan pers secara nasional.
Sejak saat penetapan tersebut, Dewan Pers menyelenggarakan Hari Pers Nasional setiap tahun secara bergantian di ibukota provinsi se-Indonesia. Landasan ideal HPN ialah sinergi, yakni sinergi antar komponen pers, masyarakat dan pemerintah.
Ini tentu tidak terlepas dari peran besar pers dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia, yakni sebagai sumber pemberitaan untuk membangkitkan kesadaran nasional. Pada saat itu, wartawan sebagai komponen utama dalam pers, selain berperan sebagai pewarta, juga menjadi aktivis politik karena perannya dalam menyulut perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Pers mengalami banyak dinamika diawali dengan belenggu kolonialisme yang membatasi setiap aktivitas pemberitaan. Bahkan, belum ada satupun surat kabar yang dikelola pribumi untuk memberitakan nasib mereka.
Hingga akhirnya muncul surat kabar nasional pertama yang terbit di Bandung pada Januari 1907 bernama Medan Prijaji, yang menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia). Bahkan Medan Prijaji menjadi kebanggaan tersendiri karena seluruh pekerjanya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Hingga akhirnya surat kabar ini musnah karena pendirinya, Tirto Adhi Soerjo, dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Bacan pada tahun 1912.
Begitu juga saat setelah kemerdekaan, pers memiliki dinamika tersendiri saat segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah Orde Baru melalui departemen penerangan. Kebebasan belum sepenuhnya dirasakan terbukti saat pada tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa dicabut surat izin penerbitannya dikarenakan mengeluarkan laporan investigasi terhadap pejabat negara.
Namun saat ini, dengan prinsip demokrasi, pers semakin berkembang dan diharapkan insan pers dan masyarakat telah berbenah dan mewujudkan cita-cita Indonesia, salah satunya melalui peringatan HPN. Terlebih, saat ini HPN 2019 mengangkat tema “Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital”, yang mengangkat persoalan jurnalistik digital yang saat ini populer di Indonesia.
“Platform media mungkin akan mengalami perubahan, tapi jurnalisme akan terus abadi. Tugas para wartawan dan media yang ada saat ini adalah merawat kebangsaan kita, termasuk dengan menyampaikan kritik dan pandangan-pandangan pers yang independen,” kata Yosep Adi Prasetyo Ketua Dewan Pers.
Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk menyemarakkan Hari Pers Nasional, seperti Pameran Pers dan Media yang diikuti oleh seluruh komponen pers nasional, media, serta pendukung lainnya.
Selain itu juga diselenggarakan Konvensi Nasional Media Massa, penyerahan Anugerah Jurnalistik dan Pers, Bakti Sosial, dan hiburan rakyat. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan terbesar dan paling bergengsi bagi komponen pers Indonesia.(tin/rst)